Bougenville 12, Part 3 – Jabat Tangan Spesialis THT

Sang surya kembali terbit dari sela gunung Sago. Cerah dan langit diliputi awan yang putih. Surat rujukan telah siap dan ku taroh di dalam sebuah map kuning dengan rapi, lengkap dengan fotokopian kartu ASKES dan beberapa lembar foto diri. Pagi ini aku akan berangkat, berdua saja dengan ibu sambil mengendari motor matic dari arah kediamanku.

Payakumbuh terlihat asri seperti biasanya kala itu. Jalanan tampak sedikit lengang dan sangat tenang. Berbeda sekali dengan hiruk pikuk lalu lalang kendaraan yang biasa ku temui setiap pagi di pelataran Fakultas Kedokteran dan di depan RS M Jamil Padang. Tak ingin terburu-buru, kami berdua menyusuri pusat kota berbelok ke arah simpang Benteng Payakumbuh tempat dimana Rumah Sakit Adnan WD berada. Setiba di sana, turun dari motor dan berjalan menghampiri ruang resepsionis rumah sakit.

Ternyata diluar dugaan, pagi-pagi begini pun ternyata pelataran rumah sakit telah ramai dikunjungi calon pasien. Jumlahnya tak sepuluh dua puluh orang, ratusan pun ada sepertinya. Mimik dan gaya mereka beragam, mulai dari yang “terlihat” berpangkat, hingga masyarakat menengah dan kecil. Semua sibuk mengantri giliran.

Setelah surat rujukan beserta kartu ASKES telah ku selipkan ke dalam map antrian, tiba pulalah saatnya aku berdua dengan ibu menunggu giliran hingga namaku terpanggil. Sebetulnya aku sendiri tak paham benar alur prosedur rujukan ini, tapi sedikit-sedikit ku belajar memahami. Ketika biodataku telah terisi, aku beranjak ke bagian pendaftaran calon pasien baru, memberi secarik kertas yang diselipkan resepsionis sebelumnya dan kembali menunggu. *huft..

Prosedur rujukan puskesmas memang harus dilalui dengan sabar satu per satu. Hingga ketika namaku kembali terpanggil rasanya lega sekali. “Silahkan tunggu di poli THT giliran ke-7”. Giliran ke-7, lumayan lah.. ternyata yang berobat ke Poli THT pagi itu tidak sebanyak yang aku bayangkan sebelumnya. Sendirian saja, mencari-cari ruang poli THT yang terletak di lantai dua rumah sakit. Ibuku menyusul kemudian, beliau sebelumnya terlebih dahulu berangkat mengajar murid-muridnya di salah satu sekolah menengah kejuruan di kota ini.

Setiba di poli THT, agak kaget. Tidak ada orang sama-sekali, kecuali beberapa petugas jaga yang terlihat baru membuka pintu poliklinik rumah sakit di Payakumbuh ini. Ternyata jam segini baru buka, kalau tidak salah pukul 9.30 pagi.

“Syandrez Prima Putra.” Akhirnya aku masuk jua ke ruang poli THT setelah satu jam menunggu tanpa kejelasan. Aku masuk ke dalam ruangan, duduk manis di depan meja anamnesis dan bersiap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut sang petugas poliklinik. Ada dua orang disana, perempuan. Satu masih muda, satu lagi sepertinya seumuran dengan ibu. Berseragam putih-putih, tapi aku ragu apakah mereka dokter atau bukan. *ckck..

Status yang diselipkan ke poli THT atas nama Syandrez Prima Putra mulai diisi. Aku mulai ditanya tentang keluhan yang aku rasakan. Malas bertele-tele, langsung saja aku sampaikan maksud kedatanganku. Aku hanya ingin dioperasi dan dirujuk ke M.DJamil Padang. Meski begitu aku harus tetap menceritakan hal-hal yang patut aku sampaikan. Tapi petugasnya manggut-manggut. Ternyata dokter THT belum datang. *hoahh.. walhasil setelah status dan keluhan utamaku dituliskan dalam secarik kertas, aku kembali disuruh mengantri menunggu kedatangan dokter spesialis THT yang berhalangan itu.

Dua jam telah lewat. Tidak terasa, dokternya belum jua datang. Husnudzan saja. Pasien pun mulai berjibun. Tapi aku tetap berusaha sabar dan menunggu. Ibu datang kemudian, lalu ku ajak makan. *ini mulai gak penting. ckck

Dr.dr.Chairul,Sp.THT telah datang. Dokter spesialis THT yang cukup tersohor di kota Payakumbuh. Sepertinya beliau satu-satunya. Aku memang pernah berobat sekali dengan beliau, saat itu pendengaranku terganggu akibat infeksi serumen yang membatu dan pada saat yang sama aku menderita DBD. Setidaknya beliau pernah menanganiku dahulu, sehingga ketika namaku terpanggil dan harus menghadap beliau, akupun tak lagi canggung.

Aku suka style beliau. Santai, interaktif, merakyat, dan malas memakai jas putih yang biasa dipakai dokter. ckck.. Ukuran badannya juga gak jauh dengan badanku. Cuman beliau lebih kurus lah. *Hha. Kalau dilihat sekilas mungkin tidak terlihat seperti layaknya seorang dokter. hhe.. *hahh menggosip –“

“Fistula Preauricular Dextra Congenital!” Dengan lantang beliau mengucapkan. Secarik kertas berjudul Surat Rujukan siap ditandatangani. Awalnya beliau hanya menyarankankanku untuk rutin membersihkan fistel (saluran) kecil yang terdapat di telinga kananku, tapi operasi sepertinya akan jauh lebih baik dan tepat dilakukan saat ini.

Tekadku telah bulat, tangan beliau telah ku jabat. “Kirimkan salam saya untuk FK Unand.” ujar beliau. Saya jadi manggut-manggut mendengarnya. Ternyata beliau masih ingat kalau saya adalah anak FK yang pernah beliau rawat dua tahun yang lalu.. “Semoga lekas sembuh.” ^^

to be continued..

9.16 AM