Terletak di jalur selatan Sumatera Barat, mendekati perbatasan dengan provinsi Jambi, terdapatlah sebuah perkampungan nan elok yang dikelilingi oleh dua barisan bukit di timur dan di baratnya. Perkampungan yang berhawa dingin di malam harinya, namun terik di siang harinya, dengan gugusan pondasi perbukitan yang indah, dan persawahan yang luas terbentang, aliran sungai yang tenang dan jernihnya, begitu mempesona. Perkampungan ini terletak tak jauh dari sebuah kota kecil yang sedang berkembang, mengekspresikan semangat masyarakatnya dalam berdagang. Ya, kota kecil yang mungkin lebih layak disebut pasar, karena disana berjejer pertokoan di samping kiri dan kanan jalannya, dan ramai dikunjungi masyarakat setiap Senin dan Kamisnya. Mereka menyebutnya Muaro Labuah. Disanalah perkampungan itu bertetangga, perkampungan ya ku kenal dengan nama Sako Selatan Pasia Talang.


Lebih kurang lima puluh hari sudah aku berada disana, seusai menjalani kuliah kerja nyata (KKN), sebuah program akademik dari Universitas Andalas tempat ku menuntut ilmu. KKN merupakan wadah kami sebagai mahasiswa untuk belajar bagaimana menghadapi kehidupan real dalam masyarakat, belajar berinteraksi dan bersosialisasi, menciptakan berbagai kegiatan kemasyarakatan dibawah payung judul “Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat”, sesuai dengan ilmu kami di bidang masing-masing.
Kami berangkat ke sana pada tanggal 3 Juni 2013, dengan jumlah kami sebanyak 20 orang. Disana, aku tinggal bersama 6 orang teman, di sebuah rumah kosong namun layak huni, di sebuah jorong bernama Jorong Alai. Kami bertujuhlah lelaki beruntung yang setiap hari dimasakin makanan oleh teman-teman perempuan, yang tinggal tak jauh dari tempat kami tinggal.
Negeri tempat ku tinggal begitu nyaman. Masyarakatnya begitu ramah, pemandangannya begitu indah, udaranya sejuk dan lingkungannya yang tentram membuatku bersyukur bisa KKN disana. Padahal, sebelumnya aku menyangka bahwa tempat ini adalah tempat terpencil yang entah berantah, jauh dari keramaian dan dunia luar. Ternyata sangkaanku salah besar. Kampung ini sudah cukup berkembang, jalannya sudah beraspal, perumahannya sudah bersemen, irigasinya bagus, dan dekat dengan pusat kota Muaro Labuah. Namun, tetap saja, suasana kampung yang tenang tetap kental menemaninya.
Aku senang bertemu dengan sahabat-sahabat dari jurusan lainnya, terutama kami bertujuh yang tinggal di rumah kosong itu. Para lelaki beruntung. Hehe. Mereka sudah seperti saudara sendiri. Oki, Jupri, Adi, Egan, Camaik dan Fajri, nama-nama yang membekas. Bagaimana tidak, kami tidur dalam alas yang sama, di deretan bantal yang sama, bahkan selimutpun kadang bersama. hahahaha. Makan kadang sepiring bersama, tertawa bersama, berantem pun sama-sama. Banyak suka duka, so pasti lah. But over all, bersyukur bisa bertemu mereka. Benar-benar bersyukur. Alhamdulillah.

Demikian juga dengan yang perempuannya, di Jorong tempat ku tinggal, ada tiga wanita baik hati yang memberi makan kami setiap hari, haha. Aku ingin mengucapkan terima kasih untuk mereka, Shinta, Tari dan Anggi. Tentunya tak lupa dengan teman-teman yang tinggal di jorong tetangga, ada Cicit, Epil, Elvanora, Laila, Ani, Sinta, Tiya, Tika, Inel dan Vicky Schu. π
Tak tahu ingin bercerita dari mana, karena lima puluh hari itu terlalu berkesan, setiap hari berbeda ceritanya.
Mulai dari cerita di minggu pertama, saat kami baru sampai di sana, berkenalan satu sama lain secara lebih dekat juga baru disana. Mengunjungi setiap perkumpulan masyarakat untuk bertegur sapa memperkenalkan diri, mengisi beberapa kegiatan di masjid, mengajar anak-anak di MDA, memberikan penyuluhan, pendidikan untuk masyarakat, program-program pemberdayaan untuk masyarakat, dan segudang kegiatan lainnya hingga diminggu terakhir yang ditutup dengan tangisan perpisahan.
Terlalu indah untuk dikenang masa-masa itu, melihat wajah-wajah penuh keikhlasan para tetua, wajah-wajah polos dan bandel dari anak-anak dari bayi hingga remaja, melihat wajah-wajah bersahabat dari para sebaya, wajah-wajah kasih sayang ibu-ibu, wajah-wajah hangat bapak-bapak yang tak lekang tersenyum ramah, mereka semua telah mengajarkan banyak hal pada kami semua.
Aku masih ingat ketika aku berkeliling kampung membawa sebuah tas kecil berisi stetoskop dan alat pengukur tekanan darah, ku jamahi rumah warga satu persatu sembari mengucap salam dan mengecek kesehatan mereka. Tak sedikit yang mengundangku makan di rumahnya, dan ku mendapatkan gelar yang belum seharusnya ku pikul disana namun mereka tak memperdulikannya, sebutan “pak dokter” yang mereka sematkan di pundakku membuat mereka mengingatku sepanjang kemana pun ku pergi. Ketika mereka berkeluh kesah tentang beban hidupnya padaku, ketika mereka memberikan senyum terlebarnya untukku, ketika mereka memberiku kepercayaan untuk bertanya padaku tentang masalah kesehatan mereka, aku merasa menjadi orang berguna di tengah kampung itu. Syukur alhamdulillah.
Tak sedikit yang mengantarkan beras ke rumah tempat kami tinggal, mengantarkan lauk pauk, makanan pengenyang perut minuman pelepas dahaga. Mereka begitu terbuka.
Aku pun masih ingat saat mengajari anak-anak di rumah itu, begitu nakal dan bandel. Namun seutuhnya mereka anak-anak yang cerdas dan baik hati, meskipun perangainya kadang-kadang menyebalkan. Hehe. Bahkan kami pun rela menemani mereka mandi di sungai, bermain layangan, bermain badminton, sampai mengajar mereka baca tulis dan mengaji. Dari pagi hingga larut malam mereka berbondong-bondong ke rumah kami, sudah seperti PAUD saja. Hahaha.
Disana aku merasa menjadi orang kampung. Hehe. Ikut ke sawah, membajak, mencangkul, mauyak padi, memotong kayu, mengiris kulit manis, membelah pinang, memancing ikan, dan segudang kegiatan orang kampung lainnya. Hehehe. Ya walaupun tak semuanya berani kucoba, hahaha.
Tak sedikit pula profesiku berganti-ganti disana, sesekali ku menjadi pak dokter, sesekali menjadi petani, tukang kebun, tukang masak, tukang cuci, tukang kayu, tukang ojek, tukang adzan, tukang imam, tukang ngajar alias guru, tukang foto alias fotografer, tukang ceramah alias buya, dan lain-lain sebagainya. Hahahaha. Tapi paling sering jadi tukang makan. hahaha π
Hm..itulah sedikit kisah di negeri penuh sapa-sapa. Tak dipungkiri banyak juga kisah sedih dan mengecewakan di sana, tapi ya itulah hidup. Tak selamanya bahagia dan adem ayem saja ya kan? Disana kita belajar. Mungkin, pelajaran berharga yang ku dapat disana selain belajar bersosialisasi dan berdiri maju ke depan, adalah belajar berumah tangga. Hahahaha. Ini serius. wkwk
Banyak hal yang harusnya diubah, banyak pula yang mesti dilestarikan. Adat istiadat yang masih kental perlu dijaga, namun hal-hal yang negatif mesti diperbaiki.
Semoga ada manfaat yang bisa ku berikan disana untuk mereka, kalaupun tidak, aku mohon semoga tak memberikan kemudharatan. Amin. π
Beberapa dokumentasi berkesan saat disana:

















Waahhh…lama juga ya, 50 hari (ami dulu 34 hari). Tapi KKN emang mengesankan dan penuh kenangan, nggak kerasa udah selesai aja π
LikeLike
iy mi.. awalny terasa lama, tp makin ke ujung jd rasanya mkn cepat, tiba2 udah slesai aja. org2 disana sdh spt keluarga sendiri..
LikeLike