Islam in Genova #Italychronicles – Part 4

Alhamdulillah, maka syukur tak kan pernah lekang tersebut di setiap sisi jagat raya seraya mengagungkan kebesaran dan kekuasaan-Nya. Alam semesta tak henti-hentinya bertasbih kepada-Nya, “Apa yang ada di langit dan bumi membaca tasbih. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Hasyr: 24). Maka inilah sedikit kisah tentang tasbih alam semesta yang ku lihat sepanjang perjalanan menuju ancient Italy, alam Italia.

Hari-hari ku di Genova, Italia, alhamdulillah berlangsung penuh karunia, setiap hari Allah memperlihatkan hal-hal baru yang bisa diambil pelajaran. Mengenai kebiasaan baik orang Eropa yang pantas untuk diteladani, bersih, teratur dan menghargai waktu, -beberapa hal yang (mungkin) amat sulit dicari di Indonesia- benar-benar telah ku lihat dengan mata. Ketika pertama kali berinteraksi dengan orang-orang berbadan besar dan beberapa diantaranya juga tak jauh berbeda dengan masyarakatku di kampung, berambut pirang, coklat hingga kekuningan, bermata terang dan berkulit putih, hampir tak terasa rasa canggung karena budaya mereka yang sangat welcome dengan dunia luar. Beberapa di antara mereka mungkin mengiraku orang Cina, Jepang, atau Malaysia. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Ospedale Gaslini, Genova misalnya, profesorku mengira aku adalah orang Jepang, -apakah mungkin karena rambutku hitam dan mataku agak sipit? Hehe, entahlah. 😛

Dua hari berlalu di Genova, memang ada rasanya yang hampa menghiasi langit. Tak ada suara azan yang biasa ku dengar setiap hari seperti di kampung. Tak ada terlihat mesjid di sepanjang jalan. Tak ada terlihat muslim sepanjang perjalanan. Hingga hati kecilku sempat berkata, apakah aku satu-satunya muslim di kota ini? Perjalanan itu begitu gersang tanpa melihat tanda-tanda Islam di tengah peradaban. Ketika ku berusaha mencari tentang keberadaan masjid di Genova melalui internet, hanya terlihat pemberitaan, “Walikota membatalkan pembangunan masjid di Genova”, “Masyakarat menolak berdirinya masjid di Genova”, yang hanya membuatku semakin sedih. Maka saat itu sudah ku putuskan, di hari-hari pertama itulah hari-hari dimana perjuangan mencari saudara seiman, setidaknya menjadi tempat berkeluh kesah ketika sendirian. Aku pun ragu bertanya pada orang-orang, “Is there any mosque here?” Aku khawatir jika orang-orang menyangka yang tidak-tidak di tengah pandangan sebagian masyarakat Eropa tentang Islam. Maka sepatu yang semakin hari semakin lusuh inilah yang akhirnya membawaku berjalan, hingga akhirnya ku menelusuri setiap gang-gang sempit di pinggiran kota, menjejaki mesjid yang tak bisa ku lacak di dalam peta google maps, hingga sekian kilometer.

Setelah lelah berjalan, aku pun duduk bersandar di tepian dermaga raksasa Porto Antico. Angin laut Mediterania begitu dingin melewati setiap pori-pori kulitku, meski telah ku tutupi dengan beberapa helai pakaian dan jaket tebal hitamku. Hampir saja putus asa, aku pun kembali melihat-lihat peta google maps, siapa tahu tempat yang ku cari sudah dekat. Hingga akhirnya aku melihat sebuah nama tempat dengan bahasa arab bertuliskan “Moschea al Fajr”. Penasaran dengan nama itupun ku coba membuka foto-foto yang ada di dalamnya, dan aku melihat ruangan dengan karpet sajadah panjang berwarna merah, dan rak-rak buku berbahasa arab. Mungkin inilah tempatnya!

Memang, Allah memang Maha Tahu kegelisahan hamba-Nya, seolah angin yang dingin itupun telah mengabariku akan undangan-Nya berjalan menuju rumah-Nya. Aku pun berusaha mencari tempat itu, menaiki bis dan berjalan di sudut-sudut lorong kota, hingga sampailah aku di sebuah jalan bernama via Balbi, tempat yang dihiasi dengan bangunan-bangunan museum tua khas Italia. Mataku berbinar-binar ketika melihat sebuah toko bernama “Bismillah shop“, diikuti dengan restoran kebab halal, tampaknya aku telah dekat.

Aku kembali berusaha membuka tempat di google maps, aku yakin aku sudah berada di dekatnya. Namun aku tak melihat adanya tanda-tanda masjid di sekitar sini. Hingga akhirnya aku berjalan hingga berulang-ulang di tempat yang sama, hingga aku menemukan beberapa orang yang dari wajahnya ku bisa mengira bahwa ia adalah seorang muslim. Laki-laki berjenggot tipis, berwajah teduh seperti orang arab, dan masih muda. Tidak satu atau dua, aku bahkan melihat beberapa di antara orang di tempat ini berpenampakan sama. Aku pun diam-diam mengikuti mereka, hingga akhirnya aku menemukan sebuah tempat seperti layaknya rumah biasa. Dengan sebuah pintu berwarna hijau terbuat dari logam, dan halaman kecil di depannya, persis seperti yang ku lihat di dalam google map. Maka benarlah kiranya, itulah sebuah moschea, -mesjid dalam bahasa Italia- yang berada di tengah kerumunan kota, di apit oleh gedung-gedung apartemen tua, disamping lorong-lorong sempit pinggiran kota. Masya Allah.. Walhamdulillah..

Maka hawa sejuk masjid pun menyapaku sore itu, menjelang shalat Ashar. Ku lihat beberapa orang tengah menunaikan shalat sunnah dua rakaat. Pertama kali bertemu, aku pun langsung disapa oleh satu diantara mereka, “Assalamu’alaikum warahmatullah.” Berikut satu, dua hingga belasan orang selalu menyapaku dengan salam. Ya Allah. Justru inilah semangat salam yang kurasa ketika justru jauh dari komunitas Islam mayoritas di kampungku, yang bahkan ketika ke masjid jarang ku dapati seorang pun yang menyapaku dengan Assalamu’alaikumnya. Tapi disini, hangat. Benar-benar hangat. Islam menggelora di setiap sisi moschea, wajah-wajah teduh nan khusyu’ terasa di setiap sudutnya.

“Wa’alaikumussalamwarahmatullah,” itulah kata yang sering ku ucapkan ketika menjawab salam-salam mereka yang penuh senyuman. Mungkin mereka sadar jika aku baru pertama kali menuju masjid ini. Dari wajahku saja, mungkin mereka baru pertama kali melihatku. Ya, wajah Asia ditengah wajah-wajah Arab dan Afrika.

Aku pun masuk dan membuka sepatu, berjalan menelusuri tangga yang di bawahnya terdapat tempat berwudhu’. Air yang begitu dingin menusuk kulit-kulitku, hingga ku dengarkan lantunan azan Ashar dengan seksama, dan ku rebahkan keningku di sajadah. Itulah shalat berjamaah bertamaku di bumi Eropa. Di sebuah moschea sederhana bernama Moschea al Fajr. Shalat yang begitu ku rindukan, dengan suasana berbeda, hanya sebuah ikatan iman yang mempersatukan kami. Mendengar lantunan Allahu Akbar, al Fatihah dan bacaan-bacaan al-Qur’an ketika shalat yang didengungkan oleh sang Imam yang begitu fasih pelafalannya, itulah saat-saat yang paling mengharukan di sepanjang perjalananku di Eropa, hingga tanpa sadar mataku berkaca-kaca.

“Assalamu’alaikum brother, it is the first time I see you, I’m Anas, Imam of this masjid, nice to meet you brother!” Tiba-tiba sebuah tangan hendak berjabat dan senyum pun merekah-rekah penuh ketawadhu’an muncul dari wajah sang imam masjid, ketika seusai shalat berjamaah seraya ingin menyapaku hangat.

“Wa’alaikum salam warahmatullah! Yes you do, it is my first time here. Nice to meet you too! I’m Syandrez.”

Where do you come from?”

“Indonesia.”

Maka tatkala ku sebut nama Indonesia, mata sang imam pun berbinar-binar.

“Masya Allah.. From Indonesia? Masya Allah…! The largest muslim country in the world? Masya Allah..!” 

Senyum bahagianya pun tak bisa disembunyikan ketika beliau bertemu denganku, menyapaku hangat, dan ternyata beliau pun bisa berbahasa Inggris. Beliau bernama Anas, dari Albania. Maka ketika itu aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku, saling berkenalan, menceritakan perjalananku, pengalamanku, tujuanku, hingga berbincang-bincang mengenai muslim di Genova, dan bertukar pengalaman bagaimana muslim di Indonesia. Wajah antusias beliau tak bisa disembunyikan, dan tentu saja dengan semangat aku menceritakan bagaimana orang-orang muslim di Indonesia beribadah, mendengar suara azan lima kali sehari dimana saja berada, belajar mengaji sejak kecil hingga dewasa, hingga kebiasaan surau dan masjid-masjid di kampung. Sampai akhirnya belakangan ku tahu disinilah tempat umat muslim Genova sholat lima waktu, belajar mengaji, dan mempelajari Islam. Aku pun diperkenalkan dengan beberapa saudara seiman yang lainnya oleh beliau. Melihat anak-anak belajar mengaji, mengeja al-Qur’an, hingga aku pun terlarut dengan kehangatan suasana masjid ini. Alhamdulillah, wasyukurillah. Allah yang telah mengundangku kemari, hatiku bergumam.

Alhamdulillah, aku merasa menemukan rumah keduaku di Eropa. Inilah masjid yang amat bersejarah untukku. Hingga disinilah aku sering singgah untuk shalat dan beristirahat.

Semakin hari aku semakin diperkenalkan dengan Islam di Genova. Tanpa sengaja keesokan harinya akupun bertemu dengan seorang gadis berjilbab di atas bis setelah pulang dari Ospedale Gaslini. Hari Jum’at, aku pun bertanya padanya.

“Excuse me, are you Muslim?” tanyaku meyakinkan.

“Yes! Are you too?”

“Yes! I’m Syandrez from Indonesia! It is my first week here in Genova, do you know where I can go to shalatul jum’ah? Any mosque here?”

“Masya Allah! Yes! Of course! I live in Islamic Community near Sampierdarena, you can come with me, I will show you the Mosque! There are a lot of muslims there!”

“Really?! Of course! Thanks!”

Aku tak bisa menahan kebahagiaan ketika bertemu dengannya, dan mengetahui bahwa ada komunitas muslim yang cukup banyak di kota Genova. Sampierdarena adalah nama tempatnya. Aku diajak menaiki kereta dan turun di stasiun di dekat Sampierdarena. Perlahan kami berjalan menelusuri trotoar dan sampailah aku di masjid yang bertuliskan, “Islamico Culturale Sampierdarena”. Alhamdulillah.. Dan di tempat inilah pertama kali aku menunaikan shalat jumat berjamaah. Sebuah masjid yang cukup luas dan ramai, seperti masjid di kampusku di Padang. Disana ku bertemu dengan muslim yang kebanyakan keturunan Tunisia, sebuah negeri arab di Afrika Utara. Belakangan aku tahu bahwa di Genova ini banyak pendatang dari Tunisia dan Afrika Utara, ada yang berkulit putih bermata bening dari Tunisia, dan berkulit hitam tinggi semampai dari Afrika. Aku semakin merasa, inilah nikmatnya Islam, tak kenal suku, bangsa, bahasa dan warna kulit, kami tetap ruku’ dan sujud untuk Tuhan yang sama, Allah swt. “Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kau dustakan?”

Maka tatkala tiba di hari-hari terakhir harus berpisah ketika hendak pulang ke Indonesia, aku kembali menyempatkan diri bertemu dengan Mr.Anas di Moschea al Fajr. Semacam ada ketidak relaan harus berpisah dengan beliau. Beliau yang sering ku temui ketika di masjid, yang tak pernah absen menyapaku ketika shalat berjamaah.

“Mr. Anas, thank you very much for your kindness. Actually, today maybe will be the last day we meet, because tomorrow I will go back to Indonesia.”

“Oh, so you will go back to your country to see your familiy?”

“Yes.”

“For many days?” Beliau lantas bertanya padaku, berapa hari aku akan pulang kampung. Mungkin beliau mengira aku hanya akan pulang sebentar dan kembali lagi ke Genova untuk melanjutkan studi. Tapi..

“I’m sorry, I don’t know. Maybe I can’t be here anymore. I will go back to Indonesia and say goodbye to Genova for tomorrow.”

“Innalillah…,” beliau pun lagi-lagi tak bisa menyembunyikan perasaan di wajahnya. Kali ini aku melihatnya sedikit kecewa, namun beliau berkata.

“It doesn’t matter if we can’t meet here again, but let’s meet then.. In Jannah. I will waiting for you in Jannah, insya Allah!” 

Waktu terasa berhenti sejenak, ketika ku mendengar kata-kata yang beliau ucapkan. Dadaku panas, mataku memerah, aku tak kuasa harus memeluknya erat, entah kapan aku bisa bertemu lagi dengan orang setawadhu’ beliau. Bukan keluarga, bukan pula sebangsa, entah dimana kaitan keturunan cucu Adam yang menghubungkan kami berdua, tapi aku merasa, begitu dekat, begitu mencintai seseorang yang hanya terpaut Iman yang sama di hatinya. Ya Allah.. Hari-hari tersedih adalah hari-hari dimana kita merasa bertemu dengan seseorang yang kita merasa sangat dekat, lalu kemudian kita berpisah. Tapi hari itu bercampur bahagia, ketika ia mengajakku bertemu di Jannah. Aamiin, aamiin, aamiin ya Allah.. Untuk do’a beliau itu, kabulkanlah ya Rabb..

Maka ketika datang tampak muka, pergi pun tampak punggung. Begitulah adat Minang mengajariku hingga di hari-hari terakhirku di Genova, kota yang pernah ku jejaki, meski tak pernah ku bayangkan. Justru indahnya Islam kian terasa, ketika kita berada di suatu tempat terpencil dan terasing, identitas diri menjadi kuat, dan di sana aku sadar karena aku berbeda, bahwa aku adalah seorang Muslim, dan aku bangga karenanya!

#to be continued, insya Allah. 🙂

7 thoughts on “Islam in Genova #Italychronicles – Part 4

  1. Rizka Aganda Fajrum

    Menangis terharu bacanya, luar biasa aan.. *kata2 yg sering ika ucapkan tapi emang pantas untuk aan, luar biasa, Allah selalu meridhoi setiap perjalanan aan shg bikin org jd sedikit cemburu, tp senang membacanya.. hhehe ^^

    Like

    • Sandurezu サンデゥレズ

      Alhamdulillah ika.. Aan hanya menulis apa yg an liat, an dengar dan an rasakan ka.. biasa-biasa aja, smg ada pelajaran yg bisa diambil ya.. rasanya ndak afdhol kalau pengalaman ni cuma aan yg menkonsumsi, insya Allah an share lebih banyak lagi.. 🙂 Makasi ikaa udah baca-baca blog aan..hehehe ^_^

      Liked by 1 person

  2. Ami

    Ma shaa Allah, what a great experience! Finding ‘real’ brothers who come from faraway countries, have great physical differences, yet sharing a strong bond. I saw a real example of Islamic brotherhood and unity by reading your story. Especially about meeting Mr. Anas on the last day. It is really heartwarming. :’)

    Like

Give a comment