Amanah itu Beban Berimbalan

Kepercayaan, suatu hal yang sangat berharga untuk kita peroleh sebagai seorang manusia. Tentu kita ingin segala tindak tanduk kita dipercaya, diakui keberadaannya. Kepercayaan itu mampu muncul dari diri kita sendiri, maupun dari orang lain di sekitar kita. Ketika diberi suatu kepercayaan, tentulah kita dituntut untuk tidak melalaikannya. Kita ingin tetap dipercaya, sehingganya kita berusaha memegang kepercayaan tersebut hingga dihargai bagi seseorang yang mempercayakannya kepada kita. Apalagi Islam telah mengajarkan pada kita akan betapa pentingnya sebuah kepercayaan, hingga wajiblah kita menunaikan apa yang menjadi beban kepercayaan orang lain yang dipikulkan kepada kita.

Sebuah kepercayaan yang saya sebut dengan amanah, ternyata tidaklah selalu membahagiakan. Ada kalanya ketika semua amanah yang dipikulkan kepada kita menggoyahkan keyakinan kita. Entah itu banyak atau sedikit,

saya pun pernah mengalaminya. Awalnya, sebuah amanah adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi kita, ketika kita merasa bahwa kita masih dianggap berguna bagi orang lain. Saya pun mengerti, Rasulullah saw pernah mengajarkan bahwa, sebaik-baik kita adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Saya camkan prinsip itu dalam hati. Namun ada kalanya, amanah itu tidak lagi satu, tetapi telah beranak pinak menjadi dua, tiga dan seterusnya. Amanah terkadang tak lagi bisa ditunaikan satu persatu dengan baik, bahkan tak pelak kita melalaikan diantaranya. Entahlah apa diri ini berdosa, karena insan seperti kita tentunya tidaklah mampu menuntaskan segalanya. Tapi keteguhan prinsip yang diajarkan Rasulullah saw kepada kita, haruslah menjadi prinsip pula bagi kita, meski berat karena kita adalah makhluk yang penuh dengan keluh dan kesah.
Akhirnya amanah itu semakin senang hinggap pada diri kita. Orang-orang mulai senang menyerahkan segala sesuatunya kepada kita. Keyakinan ini mulai tergoyah. Rasa terpaksa pun mencuat, meski kita berusaha meredamnya dengan bisikan keikhlasan. Amanah kini telah menjadi beban, dan kita tidak lagi senang dengan keberadaannya. Ingin rasanya jiwa ini berontak, mengatakan kepada dunia bahwa saya tidaklah sanggup menjalani ini semua. Saya tidak ingin menghabiskan hari-hari dengan beban ini. Saya tidak ingin capek-capek mengurusi hal-hal semacam ini, dan bla bla bla. Tapi hal itu wajar, karena kita adalah manusia, makhluk yang ditakdirkan memiliki sifat berkeluh kesah.
Jika kita menganggap amanah adalah suatu beban yang harus dipikul, mungkin setiap hari kita akan merasa terbebani. Kita pun akan melalui hari demi hari dengan wajah yang kusam, cemberut penuh kesulitan. Apalagi jika datang lagi amanah lain di saat yang sama, tak pelak raut muka akan semakin kelam. Ucapan sampah serapah akan terlontar, meskipun hanya di dalam hati. Bukannya pahala, malah dosa yang semakin banyak. Itulah yang saya maksud dengan amanah yang tidak selalu membahagiakan. Akan tetapi, sebuah beban yang dipikul tentu adalah beban yang mampu kita pikul. Allah tidak akan memberi beban yang tidak bisa kita pikul. Allah pasti akan beri imbalan atas beban yang kita pikul. Itulah amanah, jika kita masih menganggapnya sebagai sebuah beban. Pasti ada imbalannya, dan ini tidaklah sebuah hal yang sia-sia.
Menunaikan amanah dari orang lain, sama artinya dengan menolong orang lain. Kita diberi amanah, karena kita dipercaya mampu menunaikan amanah itu. Sebanyak apapun amanah, sebanyak itu pula kepercayaan orang lain akan kemampuan kita. Semakin banyak amanah, maka semakin banyak pulalah kesempatan kita untuk menolong orang lain. Menolong orang lain yang membutuhkan, adalah sama halnya dengan menolong agama Allah. Dan ketahuilah, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS.Muhammad: 7) Wallahu’alam.

Give a comment