Saat Hati Kita Diuji

Dua minggu ini, insya Allah, akan ada tiga sahabat perempuan di angkatanku yang akan mengukuhkan agamanya menjadi satu batang tubuh. Ya, seorang sahabat kami akan dipersunting dua minggu lagi, dan dirinya adalah orang ketiga yang akan merasakannya. Menikah alias baralek. Uo uo..

Serontak beberapa sahabatku yang cowok di kampus memperlihatkan reaksi. Aku pikir ini wajar, meski aku sedikit geli. Tampaknya spanning kegalauan lagi amat sangat labil saat ini. Hehe, masya Allah.. lol.

Hm, entahlah dengan diriku, entah pula dengan yang lain. Sepertinya aku bukan pakarnya, bukan pula spesialis galau. Hahaha. Jika aku bertanya-tanya apa yang terjadi, nanti dibilang pula aku kepo. ckck

Aku rasa wajar hati kita merasakan sesuatu. Itupun sudah fitrah dari Allah swt. Hanya saja, tak selamanya kita mesti terombang ambing dalam ujian hati yang sangat mudah menghanyutkan kita, tak hanya ke aliran sungai, bahkan hingga ke jurang yang dalam hingga kita tak lagi mampu menanjaki tebingnya.

Bolehkah aku sebut itu CINTA?

Eits. Aku agak berat menyebut kata itu. Dan kata itu sungguh sebuah kata yang multitafsir, bisa saja menyesatkan, menurutku.

Tentang masalah ini, hari ini aku terlibat perbincangan hangat dengan seorang abang tukang pangkas rambut. Jangan dibayangkan abangnya udah punya anak ya, tapi abang yang satu ini masih jomblo alias masih muda. Gak beda-beda jauh lah dengan aku. Cuman ya abangnya lebih tua umurnya dariku. *secara aku masih 20 tahun, masih kecil dan imut2.hhahaha

Setelah kami ngobrol santai, percakapan itu pun dimulai. Kami membahas masalah wanita. Hahaha.

“Abang kayaknya udah punya pacar ya?” tanya sang tukang pangkas padaku.

“Haha, enggak bang. Aku nggak pacaran.” sambungku.

“Kenapa enggak?” ia bertanya keheranan.

Aku sudah biasa ditanyai masalah itu. haha. Aku pikir mengapa orang selalu heran jika kita tidak berpacaran. Sepertinya ini sudah membudaya dikalangan anak-anak muda jaman sekarang. Kalau nggak pacaran, gak gaul. Emang iya ya? #kepo lagi. hha

“Hm, gak mau aja bang. Pengen biasa-biasa aja, mending punya teman banyak daripada pacaran,” jelasku sambil tertawa santai.

Lalu ia berkata sambil tersenyum,”o..gitu, jadi ntar pengen langsung aja nih ya bang? Emang biasanya kalau yang nggak pacaran ini main langsung aja. Hehe.”

Aku dengan polosnya menjawab, “Iya bang,” hahahahaha

Tanpa ku bertanya, dia menceritakan sesuatu yang menurutku sebenarnya juga ada di benak semua lelaki.

“Sebenarnya, abang ada benarnya. Saya pikir, memang lebih banyak mudharatnya berpacaran. Pergi kemana-mana berduaan, seharian bahkan semalam suntuk. Bagi laki-laki yang normal, tentulah ada hasrat-hasrat tertentu yang melintas dibenaknya jika ia berlama-lama dengan wanita, apalagi jika hanya berdua.”

Aku mengangguk mengiyakan.

“Lihatlah sekarang, bencana gempa, galodo, angin kencang, itu kan sama saja dengan kiamat kecil kan ya bang? Tapi orang-orang tetap saja tidak mau berubah.”

Aku juga mengiyakan, sambil berusaha sedikit serius mendengarkan sambil tersenyum santai sembari rambut di kepalaku sedang dipangkas.

“Saya dulu pernah pacaran bang, tapi sekarang sudah putus. Saya pikir, kalau kita pacaran, cewek kita biasanya menaruh harapan serius. Atau, kita bisa ngecewain perasaan ceweknya.”

Aku kemudian bertanya, “kok gitu bang?”

“Kita kan gak tau jodoh kita, kadang cewek yang kita pacari itu gak seperti yang kita harapkan. Kalau kita mutusin, yang kasian ceweknya juga.”

Aku pikir, hal ini ada benarnya.

“Kebanyakan cewek sekarang materialistis. Nanyain kerja apa, gaji sebulan berapa. Saya kerja begini gajinya sebulan bisa lima juta lho bang, tapi kadang kita dianggap remeh.” sambungnya.

Sampai disini cerita kami sudah mulai sedikit serius, tapi aku selalu balas ucapannya dengan tawa. Dengan seksama ku dengar sambil rambut di kepalaku dipangkas, karena pengalaman itu memang tak pernah kurasakan seumur hidupku.

Aku tak begitu ingat akhir percakapannya, setidaknya hampir 1 jam kepalaku dicukur, aku pikir kebanyakan ngobrolnya. Haha. Jika membahas yang satu itu, memang ujungnya susah diputuskan. Tapi setidaknya, aku bisa mengambil kesimpulan, tak selamanya pacaran itu adalah jalan terbaik untuk menyempurnakan agama. Bukan, maksudku, tidak sama sekali.

Jika aku ditanya masalah itu, aku hanya bilang wallahu’alam dalam hati. Sebab, bisa saja kita menyukai seseorang, tapi bisa saja rasa itu menghilang begitu saja. Allah swt sang Penguasa hati hendak menguji keimanan kita. Rasanya tak bersyukur sekiranya rasa itu kita salurkan pada hal yang sama sekali tak ada syariatnya dalam agama, bahkan dilarang, dilarang mendekati zina. Alangkah baiknya rasa itu kita salurkan untuk lebih mengintrospeksi diri kita pada Allah sekiranya kita mampu mengontrol rasa itu agar iman kita pada Allah semakin bertambah. Jika kita ingin mencintai seseorang karena Allah, pertanyaan pertama yang harus kita tanyai pada diri kita adalah,

Sudahkah aku mencintai Allah?

Jika meminjam definisi seorang ustad, kita mencintai seseorang karena kita mencintai Allah, sehingga yang kita cinta itu adalah sesuatu yang  juga dicintai oleh Allah, karena itu kita juga mencintainya. Kita mencintainya, karena Allah pun mencintainya. Jadi, kita akan berusaha menemukan, seseorang yang kita cintai itu adalah yang terbaik dari yang sebaik-baiknya, yang tentunya dapat menambah rasa cinta kita kepada Allah. Itu menurutku. Jika meminjam istilah bang Ridwansyah Yusuf Achmad, ini yang ku sebut #refleksibodohmahasiswa. Hehehehe. Wallahu’alam.

Semoga nggak galau. hahahaha :p

Give a comment