Selamat Jalan Kawan Lama

Sore itu handphoneku berdering, sebuah panggilan dari ibuku datang. Seperti biasa, aku mengangkatnya, meskipun dengan sedikit keheranan, karena sudah 3 kali ibuku menelpon hari itu.

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, ucapan itu melintas di benakku. Rupanya ibuku menyampaikan kabar, sahabatku meninggal dunia. Sahabat seperjuanganku sejak kecil. Ketika kami masih berumur lima tahun. Ketika kami duduk di bangku sekolah dasar yang sama, di kelas yang sama, ketika kami duduk di surau tempat mengaji di deretan meja yang sama, ketika kami berboncengan di atas sepeda lusuh yang sama, bermain layangan bersama, bermain kejar kejaran, hingga berenang di sungai. Sekarang ia telah tiada.

Sebuah peristiwa kecelakaan menimpanya, memutuskan pertemuan kami. Ya Allah, begitu mudah Engkau mengambil hak-Mu.

Meskipun aku tak lagi sering bertemu dengannya karena kesibukan masing-masing, sesekali ketika ku di rumah ku masih sempat bertemu dengannya. Kami masih tertawa saat bertemu, yang namanya kawan lama.

Kami hidup di suasana yang sederhana, ibu dan ayahku guru, ayahnya pengembala sapi sedangkan ibunya telah meninggal sejak ia kecil. Sejak kecil kami sekolah di SD yang sama, mengaji di surau yang sama, sama-sama di MTsN dan SMA yang sama. Ketika kuliah, kami berpisah. Aku diterima di FK Unand, sedangkan dia di jurusan Seni Rupa UNP. Dia sangat mencintai melukis. Dan aku belum pernah menemukan someone so young so talented in painting like him. Hobi kami sama-sama menggambar sejak kecil, tapi aku selalu kalah kalau dia sudah memegang pensil dan cat airnya. Lukisan pemandangannya tiada duanya.

Ketika ku melihat pusaranya pagi ini, aku bertemu dengan ayahnya. Aku tahu betapa sedih perasaannya. Ketika beliau bercerita padaku tentangnya, aku tak kuasa menahan air mata. Aku hanya bisa bilang, jika Allah telah berkehendak, disanalah takdirnya. Betapapun aku ingin menenangkan ayahnya, justru aku yang tak bisa menenangkan diriku sendiri. Meski begitu, ayahnya tetap terlihat begitu tegar dan sabar.

Kadang kita tak menyadari bahwa suatu hari kita akan mati. Entah karena lupa atau terlena dengan kehidupan, mencari sesuatu yang sebenarnya bukan tujuan hidup. Toh semuanya akan kita tinggalkan. Namun hari itu aku mendapat pelajaran, bahwa yang terpenting, hidup adalah demi Dzat yang memberikan kita nyawa yang sebentar ini. Meninggalkan kebaikan-kebaikan yang bisa dikenang dan bermanfaat bagi orang lain.

Seperti halnya ustad Jefry Al Buchari yang juga telah wafat minggu ini. Beliau yang dahulunya seorang pecandu dan pemabuk, namun hari ini jutaan muslim menangis mendoakan kepergiannya. Hanya dengan menjadi seorang yang mengajak kepada kebenaran, ia begitu dicintai semua orang.

Aku sering memikirkan, apakah jika suatu saat aku mati, akankah ada orang yang mau menshalatkanku? Apakah aku akan dikenang setelah tiada, sebagai orang yang berguna, atau malah sebaliknya? Naudzubillah ya Allah..

Memang kematian mengajarkan kita arti pentingnya kehidupan. Tapi kita sering lupa dengannya.

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan [yang sebenar-benarnya]. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS.21 Al-Anbiya:35)

Wallahu’alam.

2 thoughts on “Selamat Jalan Kawan Lama

Give a comment