Sepenggal Jakarta

Perjalanan solo backpacker itu akhirnya dimulai. Minggu, pukul tiga dini hari, saya sudah terbangun. Usai mengambil wudhu’ dan shalat sunnah dua rakaat, saya kembali berkemas-kemas memastikan sebuah ransel dan tas kecil yang telah saya persiapkan sehari sebelumnya sudah cukup terisi. Ketika melirik jam dinding di kamar, waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat, itu artinya tiga puluh menit sebelum taksi ke bandara pesanan saya datang menjemput.

Namun, sopir taksi itu tiba-tiba menelepon saya, “Pak, saya sudah sampai di Pasar Baru.”

Saya cuma bisa tersentak. Pasar Baru berarti satu kilometer dari kos-kosan saya. Mandi saja belum. Lagi pula seharusnya saya dijemput pukul empat subuh, setelah sebelumnya meminta pukul setengah lima saja.

“Kalau pesawatnya take off jam 5.50, sebaiknya kami jemput jam empat saja Pak, karena check in dibuka dua jam sebelum take off,” ujar petugas taksi ketika saya telfon pertama kali.

Namun kenyataannya, pak sopir sudah menelepon saya pukul setengah empat subuh.

“Maaf Pak, saya kira saya dijemput jam empat, ini saya masih belum siap-siap,” rajuk saya.

“Ah, tidak masalah Pak,” lanjut bapak sopir menanyakan alamat saya kemudian, “biar saya yang menunggu Pak, daripada Bapak yang menunggu saya, saya sangat tidak keberatan,” ujar pak sopir ramah.

Saya sempat terkesima dengan ucapan pak sopir ini. Ketika saya akhirnya naik taksi yang dikemudikan beliau, saya baru dengar cerita kalau beliau sudah meninggalkan rumahnya pagi-pagi buta untuk menjemput saya. Tepat pukul empat saya benar-benar berangkat diantar ke Bandara Internasional Minagkabau (BIM).

Saya sesekali melihat argometer taksi sepanjang kendaraan itu melaju di jalanan By Pass Padang. Rumah kos-kosan saya memang jauh dari bandara, sekitar 30 menit naik taksi. Jauhnya kediaman saya membuat angka-angka digital itu seenaknya saja menembus 120 ribu lebih, jauh dari prediksi saya di travel plan. Hiks.

“Saya tak punya kembalian pak, uang pas saja,” sopir taksi itu memohon saat saya menyodorkan uang seratus lima puluh ribu. Saya melihat argometernya stagnan di angka 132 ribu sekian-sekian ketika saya tiba di BIM.

“Maaf Pak, saya tidak punya uang pas,” sembari kembali mengecek isi dompet, “Uang pas saya cuma seratus dua puluh lima pak,” Itu artinya kurang sekitar tujuh ribuan lagi.

“Tidak apa-apa Pak, itu sudah cukup,” jawab si bapak sopir.

“Serius pak?” saya masih pangling, merasa merepotkan si bapak.

“Iya Pak, tidak apa-apa,” kini pak sopirnya tersenyum.

Saya hanya bisa bersyukur pagi-pagi begini sudah ditemani oleh bapak sopir yang gak hanya ramah, tapi juga baik dan pemurah. Semoga rezeki bapak ini lancar terus, gumam saya dalam hati.

“Terima kasih banyak ya Pak!”

Alhamdulillah.

**

BIM ternyata sudah ramai pukul setengah lima pagi. Kalau di Padang, pukul setengah lima, azan Subuh masih belum berkumandang, jadi masih gelap gulita. Sementara saya masih meyakinkan diri, saya siap untuk bertualang!

Usai check in yang gak terlalu lama juga, saya kemudian naik pesawat Lion Air tujuan Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten (Dulu sempat mikir kalau bandara ini di Jakarta, eh ternyata di Banten lho. Hehe. Tapi dimana-mana kalau ke bandara ini tetap saja di bilang tujuan Jakarta. Termasuk di jadwal yang terpampang di monitor bandara 😅) Saya sudah booking pesawat ini seminggu lalu seharga empat ratus tujuh puluh sembilan ribu sekian-sekian rupiah.

Akhirnya saya naik pesawat sekitar pukul lima lewat lima belas, jauh dari jadwal keberangkatan yang seharusnya pukul lima lewat lima puluh. *Apa memang boarding pesawat perdana itu memang selalu lebih awal? Setidaknya saya lega saya sudah sampai di bandara pukul setengah lima. Walaupun sebenarnya pesawat benar-benar take off jam lima lima puluh, saya pun terpaksa shalat Subuh sambil duduk di bangku pesawat saja, wanti-wanti siapa tau pesawatnya ninggalin saya. Ckck.

img_0942

img_0946
Di atas pesawat

**

Alhamdulillah, saya pun sampai di Bandara Soekarno Hatta pukul 07.30. Langit sudah terang, begitu juga dengan semangat saya. Sampai di ruang kedatangan bandara, saya sadar karena tidak ada siapa-siapa yang menunggu saya, tidak ada jemputan, taksi, atau apapun lah itu. Yang ada hanya orang-orang yang menawarkan ini itu. Saya harus melangkah sendiri kalau mau beranjak dari sini. Sesuai travel plan, tempat pertama yang saya kunjungi adalah Kota Tua Jakarta. Meski sudah pernah ke sana, entah kenapa selalu ngangenin.

Untung sebelumnya saya sudah browsing bagaimana caranya ke Kota Tua dari Bandara. Naik bus Damri jurusan Mangga Dua, turun di Stasiun Jakartakota. Ya, kini saya harus sedikit berjalan ke tempat pemberhentian bus. Lokasinya tidak jauh dari depan Terminal 2 Bandara, tepat di depan saat kaki melangkah keluar gedung. Sampai di sana, saya selalu perhatikan merek bus dan tujuannya. Macam-macam, tapi bus Mangga Dua tidak kunjung datang. Ini saya benar atau enggak ya nunggunya di sini? Pikir saya dalam hati.

img_0955
Menunggu bus Damri tujuan Mangga Dua

Akhirnya saya jalan sedikit ke sebuah bangunan kecil yang ada petugasnya.

“Mau kemana Mas? Perlu taksi?” ujar si bapak bahkan sebelum saya bertanya.

“Ah, enggak pak,” saya nyengir. “Cuma mau nanya, bus Damri jurusan Mangga Dua dimana ya Pak?” agak gak sopan ya gaya bertanya saya. Maafkan pak.

“Oh, mau naik Damri?” hela napas si bapak, “Itu ambil tiketnya di sana,” lanjut si bapak sambil menunjuk mbak-mbak yang duduk di balik kaca di ruangan pembelian tiket bus. Bodohnya saya, ruangan itu tepat di belakang punggung saya.

“Oh iya,” saya kembali nyengir, “Makasi Pak.”

Walhasil saya merasa malu sendiri, tidak apa-apa yang penting gak tersesat.

Saya lalu meninggalkan si bapak sambil senyum-senyum dan menemui mbak-mbak penjual tiket.

“Ke Mangga Dua Mbak,” ucap saya.

“Empat puluh ribu Mas,” lanjut mbak-mbak itu yang kemudian menerima uang saya. Mbaknya irit ngomong banget.

Saya pun meraih secarik kertas tiket bertuliskan ‘Mangga Dua, Rp 40.000’ dari si Mbak.

img_0953
Tiket bus ke Mangga Dua

“Nunggu busnya dimana ya Mbak?” tanya saya lagi.

“Di sana Mas,” mbak-mbak ini menunjuk ke tempat dimana saya menunggu bus tadi. Ternyata memang di situ rupanya.

“Oh, iya, terima kasih Mbak.”

“Sama-sama”.

Akhirnya saya menghela napas, ternyata memang harus nungguin bus itu disini. Selagi menunggu, saya menyempatkan diri berikirim kabar dengan orang tua. Kebetulan kami punya grup Line keluarga, jadi ngoceh-ngocehnya di grup itu saja. Hehe. Sekarang, jam tangan saya menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh. Tanpa bimbang lagi saya sabar menunggu, karena setahu saya jadwal bus ini memang cukup jarang, seperti kata bapak-bapak petugas yang lewat di depan saya.

“Oh, iya bus ke Mangga Dua di sini aja tunggunya Mas, dia (bus) memang agak jarang, tapi ada, tunggu saja,” ujar si bapak berseragam. Saya kira dia petugas Damri.

Akhirnya lima menit setelah si bapak ngomong, bus tujuan Mangga Dua pun tiba. Alhamdulillah. Saya berlarian naik ke pintu bus.

**

Sekitar empat puluh menit kemudian, saya pun tiba di tujuan. ‘Stasiun Jakartakota’, begitulah tulisan besar yang terpampang di gedung stasiun tempat saya turun dari bus. Stasun ini mestilah sudah tua banget. Bangunannya masih corak-corak kompeni gitu. Tapi ini sebetulnya kali kedua saya ke tempat ini, dulu pernah satu kali mampir ketika menuju Kota Tua dari kediaman tante di Citayam, naik KRL tentunya, atau Commuter Line.

img_0964
Stasiun Jakartakota

Di depan gedung stasiun, terbentang jalan lurus menuju Kota Tua. Saya pun berjalan di trotoar sebelah kirinya, yang kala itu dipenuhi oleh pedangang kaki lima yang menjual aneka macam barang dagangan, mulai dari pernak-pernik, minuman pelepas dahaga, topi, kaos, jam tangan, pokoknya komplit ala-ala kaki lima. Sayang sekali tidak ada yang menarik minat saya kecuali seorang bapak-bapak tua yang sedang dikerumuni anak, remaja dan orang dewasa yang mengantri membeli Es Selendang Mayang yang dijualnya. Saya sendiri belum pernah mencoba, apa itu Es Selendang Mayang? Rupanya makanan khas Betawi.

“Berapa harganya pak?” tanya saya.

“Lima ribu Mas,” jawab si Bapak.

“Beli satu ya Pak!” saya semangat.

Saya memang entah kenapa lebih senang membeli makanan sederhana seperti itu. Murah meriah tapi tetap enak. Apalagi ini khas Betawi. Tentu saja saya harus mencicipinya.

img_0966
Suasana menjelang kota Tua
img_0968
Bapak penjual Es Selendang Mayang
img_0969
Es Selendang Mayang Khas Betawi

Es selendang mayang itu warnanya ngejreng, batu esnya membuat dahaga saya menjadi-jadi hendak ingin segera mencicipi. Terbuat dari adonan tepung terigu dan gula pasir, lalu disiram dengan kuah santan dan diberi warna merah muda yang terang, terasa begitu empuk dan manis di lidah. Cocok sekali untuk bersantai di kota tua. Saya lalu memilih duduk di sebuah kursi batu susun yang ada di depan pelataran museum sejarah Jakarta Kota Tua. Sambil menikmati suasana keramaian hari Minggu, ketika orang-orang tertawa, kejar-kejaran, menunggang sepeda ontel bareng pasangan, gak peduli tua ataupun muda. Ah, bikin baper saja. Tanpa peduli saya pun langsung melahap es selendang mayang dingin yang enak dan manis itu.

img_0974
Menikmati Es selendang mayang di depan Fatahillah Square

Masuk ke Museum Sejarah Jakarta adalah pilihan berikutnya. Ini memang baru pengalaman pertama, tiketnya murah banget. Hanya lima ribu rupiah. Berdiri tepat di depan alun-alun kota Tua –yang disebut dengan Fatahillah Square/ Taman Fatahillah, megah dan sangat Belanda banget, bangunan ini sangat menarik minat penikmat sejarah seperti saya. Di dalam museum ini saya disuguhi tentang sejarah kota Jakarta bahkan sejak zaman prasejarah. Peninggalan sejarah berupa prasasti, batu-batuan, pernak-pernik peninggalan pemerintah Belanda, dan banyak benda bersejarah lainnya memperkaya pengetahuan masa lalu di tempat ini. Gedung yang berdiri tahun 1710 ini dulu dikenal dengan nama Stadhuis atau balaikota Batavia. Kini, bangunan berasitektur kolonial Belanda ini telah menjadi salah satu museum sejarah terpenting di Jakarta yang selalu ramai dikunjungi.

img_0992
Museum Sejarah Jakarta
img_0996
Tempat beli tiket
img_0998
tiket masuk museum
img_0999
Suasana dalam museum, masih terawat
img_1015
Pemadangan dari lantai dua museum

Puas mengelilingi isi interior museum, saya kemudian beranjak ke halaman belakangnya yang kala itu cukup ramai. Di sana juga terdapat beberapa pedagang kaki lima yang menjual makanan-makanan Betawi. Ketika ditanya tentang kuliner khas Betawi, mungkin yang ada di benak kita salah satunya adalah ‘Kerak Telor’, dan sedihnya saya belum pernah mencobanya sekalipun. Untunglah di sana terdapat adek-adek penjual kerak telor ini (iya adek-adek karena kayaknya masih muda banget), yang berhasil membuat saya sabar mengantri untuk mencicipi makanan khas Betawi itu.

“Mau satu dong Mas,” ujar saya.

“Yang ayam apa bebek Mas?” si Adek nanya.

Saya baru tahu kalau telur yang dipakai ada dua macam, telur ayam dan telur bebek.

“Ayam 20, Bebek 25,” lanjutnya.

“Ayam aja mas,” jawab saya, memang dasar suka ngirit ya? Ckck.

img_1044
Sabar nungguin Si Adek memasak kerak telor

Kerak telor itu sendiri terbuat dari beras ketan putih, yang ditanak langsung di atas tungku bara api, lalu disiram dengan adonan telur yang sudah dibumbui. Kira-kira lima menit kerak telornya sudah matang dan siap ditaburi dengan kelapa parut, sangrai dan bawang goreng. Rasanya, enak ternyata, walaupun tidak jauh berbeda dengan omelet alias telur dadar, tapi beras ketan dan taburan kelapa parut dan bawang gorengnya yang membuat berbeda.

img_1046
kerak telor fresh from periuk 😀

**

Sesuai dengan rencana, mengunjungi Jakarta dalam satu hari penuh mungkin terlalu singkat, tapi tiada mengapa, cukup melihat hal-hal yang ingin dilihat. Puas berkeliling Kota Tua, saya pun memikirkan destinasi berikutnya, yaitu Monumen Nasional alias Monas, ckck. Tempat wajib yang selalu disinggahi kalau ke Jakarta. Kali ini saya ingin sekali masuk ke dalam bangunan tinggi itu, siapa tahu bisa naik ke puncak menara Monas.

Saya kemudian kembali ke Stasiun Jakartakota, berniat mengantri membeli tiket KRL yang dikenal murah meriah itu. Saya kemudian melihat antrian panjang di depan tempat pembelian tiket, ramainya minta ampun. Ditambah lagi suasana yang panas dan gerah, dan saya yang dari tadi berjalan saja, membuat keringat saya mengucur bulat-bulat.

img_1047
Suasana Stasiun Jakartakota

“Mas,” sapa saya pada orang yang ngantri di depan saya, lebih tepatnya setelah lima menit berdiri dalam barisan antrian, “ini tempat beli tiket KRL kan ya?” Tiba-tiba saya baru memikirkan untuk bertanya setelah sok-sok an ikut antrian.

Kening si Masnya berkerut, “Bukan Mas! Ini tiket kereta jarak jauh.”

Aku panik,“Eh?!”

Bapak-bapak di depan mas-mas ini sepertinya mendengar ucapanku, “Mau naik KRL Mas?” tanya beliau.

Saya mengalihkan muka ke si Bapak, “Kalau naik KRL beli tiketnya di sebelah sana Mas.” Ujar sang bapak baik hati yang menunjukkan jalan. Ternyata ada tempat antrian lain di sebuah ruangan di tengah-tengah gedung stasiun. Baru tersadar saya salah mengambil antrian.

“Oh, iya Pak?” saya pangling lagi-lagi salah, “Di dalam sana?” saya meyakinkan sambil menunjuk ruangan lain di tengah stasiun.

“Ya!” jawab beliau.

“Terima kasih pak!”

Sembari menarik napas saya mengucapkan terima kasih kepada sang Bapak yang menunjukkan saya jalan, kini saya bergegas ke ruang tengah stasiun yang masya Allah antriannya juga panjang sekali.

“Ini tiket ngatri KRL kan Mas?” Tanya saya lagi kepada seseorang dalam antrian.

“Iya Mas.”

Oh syukurlah, lega. Kini saya sudah berada di antrian yang benar. Setidaknya butuh sepuluh menit untuk mengantri hingga akhirnya saya sampai di depan petugas pemberi tiket di balik kaca.

“Mau kemana Mas?” Tanya petugas itu.

“Mau ke Stasiun Gambir Pak,” ucap saya spontan. Saya cuma ingat Monas itu dekat dengan stasiun Gambir.

“Stasiun Gambir?” Bapak petugas ini adalah orang ke sekian yang kulihat kerut keningnya. Ia kemudian tertawa, “Baru pertama naik KRL ya Mas?” ejeknya.

Aku salah ya? Pikirku dalam hati. Apanya yang lucu? Kenapa bapak ini tertawa? Lagipula aku sudah pernah kok naik KRL dua tahun lalu.

Tiba-tiba bapak-bapak di belakangku berkata, “KRL gak berhenti di Stasiun Gambir Mas, kalau mau ke Gambir, ambil aja jurusan Cikini lalu naik ojek ke stasiun.”

“Eh?” Saya nyegir lagi.

“Berarti Cikini saja ya?” tanya petugas itu balik ke saya.

“Oh, iya lah Pak,” saya senyum tersipu malu.

Saya kemudian membayar sepuluh ribu untuk membeli kartu elektronik dan tiga ribu untuk tiket ke Cikini.

“Makasi Pak,” saya bergegas keluar dari antrian dan mencari kereta tujuan Cikini.

Tiba-tiba saya berpikir, kenapa kok saya menyebut Gambir ya? Bodoh sekali. Padahal tujuan saya adalah Stasiun Juanda. Ckck. Ya sudah, lagipula KRL dari Jakarta Kota ke Cikini juga melalui stasun Juanda kok. Saya berdamai dengan diri sendiri. Usai melihat google maps, Juanda terletak dekat dengan Istiqlal, Monas, dan komplek Istana Merdeka. Kebetulan banget, bisa mengunjungi banyak tempat sekaligus.

img_1048
Tempat membeli tiket KRL
img_1051
Akhirnya naik kereta

Mencari KRL tujuan Juanda tidaklah rumit, di stasiun terpampang rute KRL dalam kota. Cara naiknya juga simple, cukup men-scan kartu elektronik yang kita dapat dari petugas di depan alat pemintas, lalu kita bisa masuk ke area platform kereta. Saya kemudian mengambil jurusan KRL Bogor, yang juga melewati Juanda. Syukurlah kereta masih sepi, jadi saya bisa duduk manis di bangku kereta yang empuk. Tak lama berselang kereta pun melaju, diiringi suara pemandu yang terdengar dari speaker di dalam gerbong. Setiap kereta melaju, setiap kali itu pula ia bersuara menjelaskan tujuan dan tempat pemberhentian.

“Stasiun Juanda!” sahut suara perempuan bening itu dari loudspeaker setelah beberapa kali pemberhentian.

Pintu terbuka, dan kaki saya melangkah keluar menuju Stasiun Juanda.

img_1055
Tiba di stasiun Juanda
img_1054
Suasana turun dari kereta di stasiun Juanda

**

“Ojek Mas?!”

“Ojek?!”

“Mau kemana Mas?!”

“Ayo naik ojek saya saja Mas!”

Baru saja turun dari gedung stasiun Juanda yang besar itu, puluhan tukang ojek berbaris rapi di pelataran, menanti calon penumpang memberi setumpuk rejeki hari itu. Saya cuma bisa ambil napas panjang, karena saat ini tidak ada niat naik ojek. Jalan kaki lebih murah dan menyeanangkan, pikir saya.

“Tidak Mas, makasi Mas…” saya hanya bisa senyum-senyum ke tukang ojek, senyum memelas.

Menurut panduan google maps, saya harus berjalan sekian meter ke depan, menaiki jembatan penyebrangan orang dan melanjutkan jalan ke pinggir kali seberang Masjid Istiqlal sampai akhirnya tiba di komplek pemerintahan pusat di Jalan Merdeka Utara. Di sana ada berdiri gedung-gedung pejabat tinggi negara, seperti Kementrian Dalam Negeri, Mahkamah Agung, dan Istana Merdeka. Karena sumringah, sesekali saya ambil gambarnya, sambil merasakan menjadi warga ibukota.

img_1059
Menyeberangi jembatan penyebrangan orang
img_1060
Jalan kaki ke Monas

“Mas! Hati-hati Mas!” sahut seorang bapak yang berpas-pasan ketika berjalan di trotoar Jalan Merdeka.

“Iya Pak?” tanya saya heran dengan si bapak. Saya harus hati-hati gimana?

“Ini gak boleh difoto sembarangan, ada petugasnya!” si bapak memperingati.

“Oh ya?!” saya kaget.

Saya baru tahu kalau komplek pemerintahan itu tidak boleh difoto sembarangan. Terutama markas TNI di samping Kemendagri.

“Oh, maaf pak, terima kasih!”

Bapak itu berlalu sambil tersenyum, saya juga. Tapi entah kenapa saya masih saja usil ingin mengambil gambar. Ah sedikit saja kok, buat kenang-kenangan. Bandel memang, tapi syukurlah sampai ke Istana Merdeka tidak ada masalah.

img_1072
Istana Merdeka, *Ini foto untuk kenang-kenangan saja 😀

Sampai di ujung gerbang Monas arah Istana Merdeka, saya pun masuk ke area Taman Monas. Dari jauh sini terlihat sekali betapa tingginya Monumen Nasional itu. Suasana juga tampak ramai oleh pengunjung, teringat oleh saya bahwa hari ini hari libur.

Alhamdulillah, sampai lagi di tempat ini.

Monumen Nasional, ikonnya Ibukota Jakarta. Menara dengan obor api terbuat dari emas itu memang selalu memikat hati saya, entah kenapa. Jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk melihat Monas entah apa yang dicari. Kadang saya ingin ketawa sendiri. Tapi perjalanan sederhana itu cukup membuat hati saya puas, karena tujuan perjalanan ini memang bukan sekedar untuk rekreasi, tetapi lebih untuk mencari pengalaman dan pengetahuan. Belajar dari setiap peristiwa keseharian di negeri jauh memang sulit dicarikan penggantinya. Kadang orang berpikir jalan-jalan itu selalu menyenangkan, tanpa memikirkan bagaimana sulitnya kita menempuh perjalanan. Bagi traveler, tujuan itu mungkin hal ke sekian yang hendak dicari, namun yang terpenting adalah memaknai dan menikmati perjalanan itu sendiri, serta megambil pelajaran berharga di perjalanan untuk dijadikan bekal esok hari. 🙂

Selamat datang di Jakarta!

img_1086
Monumen Nasional, Jakarta

#to be continued

12 thoughts on “Sepenggal Jakarta

  1. ainicahayamata

    Percaya atau tidak, kakak juga papasan sama si Bapak dengan “Es Selendang Mayang khas betawi jadoel” itu pas hari Sabtu kemaren ke Kotu. Hahaha, sayang gak sempat nyoba.
    Aan gak jalan ke samping museum fatahillah yang di sana berjejer cosplay patung pahlawan gitu An? Itu spot yang bagus juga untuk difoto.
    Bagusnya Aan juga nyimpan rute KRL di HP ya hehhe, dan memang banyak yang suka salah ngantri tiket KRL di loket kereta jarak jauh luar Jawa. Pertama kali dari Kotu ke stasiun lagi, kakak juga ngantri di tempat yang salah. Btw tiket THB hariannya Aan refund lagi kan? Gak disimpan buat kenang2an kan? ^_^

    Liked by 1 person

    • Aan Sandurezu (サンデゥレズ)

      Makin percaya kalau si bapak selendang mayang emang maestronya kota tua nih kak.. Patut dilestarikan.. Hhaha

      Tentang cosplay pahlawan..Hm, entahlah kak, rasanya aan gak liat ada cosplay di sana waktu itu..mungkin belum beruntung 😂

      Btw ternyata gak cuma aan yg salah ngantri tiket KRL ya? Ckck.. Iya kayaknya lain kali aan mesti nyimpan rute KRL di hp biar gak salah2 lagi.. Tiket THB nya kelupaan kak, pas nyampe Bogor udah gak ngeh lagi sama kartunya, jadinya terbawa deh buat kenang2an.. Ckck

      Like

      • ainicahayamata

        Bangeeeeet, suka kasihan kalau satpol PP sudah beraksi, semua pedagang kaki lima dengan terburu2 mengemasi lapak mereka. Kemaren pas kakak jalan di trotoar itu persis ketika PolPP lagi razia. Dan kalau Aan dengar2 bahasa para PKL yang lagi ngoceh dengan sesamanya, kebanyakan mereka orang Minang 😦

        Padahal kalau durefund mayan tuh An, sepuluh rebu hehehe. Tapi kalau sudah lewat dari 1 hari kartunya hangus.
        btw, kartu elektrik yang Aan beli di busway juga bisa digunakan untuk naik KRL. Cuma ngisi ulangnya hanya bisa di halte busway/ATM sesuai bank nya, gak bisa di loket KRL. Kalau gak salah kartu yang Bank DKI (yang didapat dari tiket masuk Monas) juga bisa digunakan utk naik busway. Cuma tinggal diisi ulang. Next time ke Jkt lagi, kartu2 itu masih bisa dimanfaatkan, jadi disimpan baik2 ya hehe

        Liked by 1 person

        • Aan Sandurezu (サンデゥレズ)

          Kasian juga ya kak, bagusnya memang diakomodir kaki lima gitu ya kak biar tertata.. Kayaknya dimana-mana kalo buka objek wisata pemerintah mesti menyiapkan spot khusus kaki lima yang memadai karena keberadaan mereka itu semacam hal harfiah ya kak

          Btw An udah koleksi tiga kartu KRL dan lupa terus direfund habis balik dari Jakarta, ckck

          Liked by 1 person

Give a comment