Traveling to Sumut #1: Perjalanan Darat Menuju Binjai Melewati Toba dan Samosir

Alhamdulillah, akhirnya merasakan juga yang namanya liburan. Setelah sekian lama berkecimpung di Rumah Sakit dan Puskesmas, baru kali ini saya dan sekeluarga merasakan yang namanya berlibur bersama ke luar kota. Saya, adik, mama dan papa alhamdulillah libur serentak, walhasil, momen kali ini tak kan kami sia-siakan untuk pergi berlibur.

Kami sekeluarga memutuskan untuk pergi travelling ke luar kota, luar propinsi. Menemui sebuah kota yang dari dulu hanya menjadi planning list dalam jadwal traveling keluarga namun gak pernah kesampaian. Hehe. Itulah, Medan. Selain sudah lama tak tahu perkembangan kota ini, kami juga berniat mengunjungi keluarga dan dunsanak papa yang sudah sangat lama tidak berjumpa di sana.

#DAY 1

Hari pertama, Kamis, 24 Desember 2014. Setelah semalan packing dan mempersiapkan segala bekal keberangkatan, kami pun berangkat dengan daihatsu terios semata wayang. Kami berangkat sekitar pukul 06.15 WIB dari kota Payakumbuh, kampung halaman. Tak lupa papa mengisi full bensin mobil dengan ongkos 200 ribu rupiah. Pagi itu cukup lengang, jadi mobil yang papa kemudikan melaju cukup kencang hingga mendarat di kota Bukittinggi sekitar pukul 07.00 WIB.

Di Bukittinggi, kami sempatkan singgah sebentar di RS Ibnu Sina untuk menjenguk salah satu kerabat, alias kakak sepupu iparku yang baru saja melahirkan anak kedua mereka. Bayinya perempuan. ^_^ Semoga jadi anak sholehah ya dik, *nambah lagi keponakanku seorang. 🙂

Tak ingin berlama-lama, setelah pamitan, pukul 07.30 WIB kami pun akhirnya berangkat menuju Medan, dengan tujuan awal, Padang Sidempuan. Kota Padang Sidempuan terletak sekitar 286 km dari Bukittinggi, cukup jauh juga rupanya. Bermodalkan google maps dan sinyal GPS, kami berangkat menuju Padang Sidempuan.

Perjalanan menuju Padang Sidempuan cukup menarik. Di sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan alam Sumatera Barat yang memang sulit untuk dicari tandingannya. Bukit-bukit hijau dengan anak-anak sungai yang deras, gunung-gunung yang menjulang tinggi di balik jendela, sebut saja Gunung Marapi, Singgalang di Bukittinggi dan Gunung Talamau yang menjulang di kabupaten Pasaman. Sayangnya cuaca sedikit mendung dengan hujan rintik-rintik, jadi pemandangan Gunung Talamau Pasaman tak begitu jelas kami temui. Selain itu, jalan yang kami lalui cukup melelahkan untuk perut, hehe, jalanan yang penuh tikungan berliku-liku dengan tanjakan dan turunan, bukit di samping dan jurang di sebelahnya, cukup senang mengocok perutku. Ckck.

Perjalanan kami akhirnya sampai melewati kota Lubuk Sikaping ibukota kabupaten Pasaman, hingga Bonjol dengan tugu Khatulistiwanya dan Panti dengan pasar di pinggir kiri dan kanan jalannya. Jalanan di Pasaman masih bagus untuk dilalui, karena sudah diaspal beton. Memang rata-rata jalan raya di Sumbar sudah jauh lebih baik dan beraspal beton rupaya, mungkin setelah event tour the Singkarak rutin diadakan oleh pemprov.

Memasuki perbatasan Propinsi Sumbar dengan Sumut, hampir saja saya tak mengetahuinya, pasalnya jalanan disini sudah mulai menyempit dan agak berlubang, padahal rute ini ramai dilalui oleh kendaraan yang berlalu-lalang terutama dari Bukittinggi ke Padang Sidempuan. Bahkan lawannya adalah bus-bus besar sebut saja ALS (angkutan antar propinsi Bukittinggi-Medan), truk dan prah. Hanya terlihat sebuah tugu kecil penanda telah memasuki batas propinsi. Setelah memasuki propinsi Sumatera Utara, jalanan bagus sudah susah ditemui.. Meski masih bisa dilalui, tapi tak sebagus jalan di Sumbar. *tak bermaksud membandingkan, tapi itulah kenyataannya. Entah kenapa sepertinya daerah pinggiran barat Sumut seperti kurang terperhatikan dibandingkan daerah timur. Untuk rute dengan jarak yang sama dari Bukittinggi ke batas propinsi dengan jarak dari batas propinsi ke Padang Sidempuan, kami menghabiskan waktu yang jauh lebih lama di perjalanan setelah memasuki daerah Sumut.

Lupakan masalah jalan itu sejenak. Hehe. Tak lama kemudian akhirnya kami sampai di sebuah pasar kaget di tengah jalan, yang muacetnya mintak ampun. Hehe. Melihat atap rumah yang sudah berbeda dari biasanya (biasanya gonjong atau semacamnya) saya menyadari kalau kami sudah memasuki Sumatera Utara. Inilah Pasar Muara Sipongi.

Pasar Muara Sipongi

Setelah hampir setengah jam terjebak macet di tengah kerumunan manusia, papa akhirnya turun dari mobil dan menjadi “polantas dadakan” ckck. Kejadian yang lucu waktu itu. Maklum saja, penampakan papa yang berkulit gelap, tampang sangar, berkumis tebal dan rambut disisir ke samping, membuat beliau seperti seorang tentara. Hahaha. *Maapin anakmu ini pa. Dan benar, aku kagum setelah papa mengatur jalanan yang macet kala itu, akhirnya mobil kami bisa lewat dan lalu lintas kembali lancar.

Setelah lelah berjalan, akhirnya kami sampai di Kota Padang Sidempuan pukul 15.00 WIB. Kota ini ternyata cukup ramai, seperti kota Payakumbuh. Disana kami beristirahat sejenak di rumah adik sepupu papa yang sudah lama tak berjumpa. Biasalah, acara silaturahmi keluarga berlanjut dengan berbagi cerita dan tertawa bersama. Akhirnya kami memutuskan untuk menginap disana sebelum melanjutkan perjalanan. Tak lupa, malamnya saya mengajak abang ipar saya yang juga menantu dari adik sepupu papa ini untuk jalan-jalan memutari kota Padang Sidempuan yang cukup luas, sambil mencari jagung manis bakar yang dijajalkan di pinggiran kota.

Kota Padang Sidempuan (sumber: kotapadangsidempuan.blogspot.com)

#DAY 2

Hari kedua, 25 Desember 2014. Tepat di hari natal kami pun melanjutkan perjalanan ke kota Medan dengan tujuan awal, Kota Parapat. Kami pun pamit dengan keluarga Tulang dan Tante di Padang Sidempuan pukul 06.00 WIB. Tak lupa sebelumnya tante pun membekali kami dengan nasi dan lauk untuk makan siang di perjalanan. Akhirnya perjalanan pun dilanjutkan, ketika itu jalanan masih lengang dan langit masih terlihat gelap.

Kota Tarutung adalah kota pertama yang kami lewati. Jaraknya dari Kota Padang Sidempuan sekitar 98 km. Entah mungkin kebetulan, kami melintasi kota dengan dengan budaya batak yang sangat kental, dengan agama mayoritas Kristen di hari raya mereka. Lonceng gereja saling bersahut-sahutan di sepanjang jalan, ya. Terutama setelah melintasi kota yang mayoritas beragama kristen ini. Tentu saja, kami sekeluarga mulai tidak asing melihat restoran dengan masakan utama babi panggang, sate babi, sate anjing, dan seterusnya. *agak serem, hehe. Bahkan sesekali, kami tak sengaja melihat prosesi penyembelihan “kerbau mungil” itu. “Babi gulung” istilahnya. Maybe I shouldn’t tell it. Hehe.

Pekuburan salib juga banyak terlihat di bawah perbukitan saling berjejeran. Kota yang dijuluki “Kota Wisata Rohani” ini benar-benar memperlihatkan sisi yang berbeda dari perjalanan kami. Namun justru di kota ini kami beristirahat sejenak di sebuah mesjid semata wayang yang kami temukan di pinggir jalan raya. Meski bisa dihitung dengan jari, alhamdulillah kami masih bisa menemukan masjid ini dengan penduduk muslim di sekitarnya. Masyarakat sini rata-rata berbahasa Batak Karo. Kami pun tak paham dengan apa yang diucapkan mereka, kecuali papa, ya sedikit-sedikit, papa bisa dibilang sudah pernah menetap di Sumut sekitar 3 tahun lamanya ketika kuliah dulu. Sesekali papa juga sering pulang balik Medan jika ada penataran guru SMK.



Kota Tarutung (sumber: panoramio.com)

Setelah mengitari kota Tarutung yang dibelah oleh sebuah sungai buatan, kami pun meneruskan perjalanan menuju kota Parapat yang terletak di pinggir Danau Toba. Kota yang terletak 108 km dari Tarutung ini meningatkan saya dengan pinggiran danau Maninjau di Sumatera Barat yang terletak di bawah lereng perbukitan yang mengelilingi danau. Kota Parapat merupakan gerbang destinasi wisata di Danau Toba yang cukup terkenal, kota ini bersuhu dingin seperti layaknya Bukittinggi, dengan pemandangan yang sejuk, yakni bukit-bukit dan birunya danau Toba serta hijaunya pulau Samosir. Kami pun tiba disana sekitar pukul 12.00 WIB. Tepat di hari Jum’at itu, alhamdulillah kami berkesempatan menunaikan shalat Jum’at berjamaah di Masjid Raya Taqwa Parapat, Masjid indah yang terletak di dekat Danau Toba -dan mungkin satu-satunya masjid yang terlihat sepanjang perjalanan dari Tarutung ke Prapat.


Masjid Raya Taqwa Parapat

Setelah usai shalat Jum’at dan makan siang, kami pun bermaksud mengitari dan menikmati siang menjelang petang di Danau Toba. Inilah kesempatan kali pertama kami mengunjungi danau terbesar di Indonesia ini. Tak jauh dari masjid, terdapat sebuah gerbang masuk ke jalan destinasi wisata Danau Toba. Setelah memarkir mobil di pelataran hotel di tepian danau, kami pun mulai berjalan kaki mengitari pinggiran danau dan bertemu dengan tempat penyewaan kapal penyebarangan menuju pulau Samosir.




Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga ngeliat Danau Toba. Hehe. Gak puas sampai disitu, kami pun memesan tiket penyebrangan menuju Pulau Samosir menggunakan kapal dengan kapasitas penumpang sekitar 50 orang. Cukup besar untuk menampung wisatawan. Harganya pun cukup terjangkau. Kami pun memesan tiket menuju Tomok, Pulau Samosir.




Ini pertama kalinya kami menaiki kapal jenis ini berempat di atas Danau Toba. Di tengah perjalanan menuju pulau Samosir, tampak pemandangan kota Parapat dari tengah danau dan juga pemandangan bukit-bukit berbatu dengan “batu gantung”. Ternyata perjalanan menuju pulau Samosir cukup lama, memakan waktu sekitar 40 menit sampai 1 jam.



Beberapa saat kemudian Pulau Samosir pun terlihat dari kejauhan. Tampak bangunan-bangunan adat dan vila-vila cantik yang berdiri di tepian pulau. Setelah keasyikan berlayar di atas kapal dan di tengah cuaca yang dingin, akhirnya kami pun mendarat di Pulau Samosir, tepatnya sebuah daerah yang dikenal dengan nama Tomok. Di tempat ini terdapat beberapa restoran dan ratusan kios-kios suvenir khas Batak Toba. Tak lupa tentunya terdapat bangunan-bangunan adat batak, makam-makan leluhur batak dan beberapa patung-patung kuno. Kami pun diwajibkan memakai ulos, yakni seperti selendang dengan ukiran batik khas Toba ketika hendak memasuki area makam leluhur.




Makam Leluhur Batak (Sumber: itchyfeets.wordpress.com)


Monumen leluhur Batak

Setelah puas berkeliling Tomok, kami pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk berbelanja berbagai macam souvenir yang ada di sana sebelum kembali ke Perapat melalui dermaga. Ternyata banyak juga “urang awak” (orang asli Sumbar) yang juga membuka kedai disana. *Alamat dapat diskon. Hehe. Sore harinya sekitar pukul 17.45 WIB, kami pun kembali ke Parapat dengan kapal penumpang dan tiba kembali di Parapat sekitar pukul 18.30 WIB, tepat saat azan magrib berkumandang. 🙂

Usai shalat magrib sekalian dijama’ dengan isya, kami pun meneruskan perjalanan ke kota Medan yang jaraknya masih sangat jauh, yakni sekitar 180 km. Untung saja mulai dari Perapat hingga Medan jalanannya sudah jauh lebih bagus dibanding sebelumnya. Kami berangkat ke Medan sekitar pukul 19.00 WIB melewati kota Tebing Tinggi dan Perbaungan, kemudian sampai di perbatasan kota Medan sekitar pukul 00.00 WIB. Karena lapar, kami pun membeli sebungkus martabak manis di pinggir jalan, dan ternyata yang berjualan masih juga “urang awak”, haha, asli Bukittinggi, bahkan sekampung pula dengan papa di Palembayan. Seorang perempuan paruh baya seumuran saya.

“Masih jauh Medan dari sini dek?” tanya papa.

“Enggak pak, tinggal ikuti jalan lurus ini sampailah bapak di Medan,” sahutnya.

“Oh ya, makasi ya dek. Adek asli mana?”

“Saya dari Padang pak.”

Papa saya pun terkejut.

“Hah? Urang awak juo kironyo, apak dari Padang lo mah. Padangnyo dima diak?” (Urang awak juga ternyata, bapak juga dari Padang. Padangnya dimana dek?”

Di Bukittinggi pak.”

Hah? Bukittinggi dima?

Palembayan pak.”

Papa pun semakin terperanjat kaget.

Eeee pampam, urang kampuang awak kironyo, ambo dari sinan juo mah, hahaha..” tawa ayahku meledak. (“Ya ampun, orang sekampung juga ternyata, saya juga dari sana, hahaha..”) Batinku dalam hati, jauh-jauh ke Medan ternyata isinya urang awak juo.. haha.

Dan sepanjang jalan itu kami pun tertawa dibuatnya, sambil menyicipi martabak manis yang masih panas di tengah malam menuju kota Medan.

Setiba di Medan, kami meneruskan perjalanan ke Kota Binjai, tujuan akhir kami, menuju tempat dunsanak papa yang sejak kemarin telah menunggu kedatangan kami. Kota Binjai berjarak sekitar 20 km lagi dari Medan. Tanpa singgah di Medan, kami pun langsung ke Binjai dan alhamdulillah mendarat dengan selamat di rumah dunsanak papa di Binjai tepat pukul 01.00 WIB.

Meskipun sudah larut malam, keluarga papa masih belum tidur karena harapnya bertemu kami. Keluarga ini benar-benar hangat dan menyenangkan. Ada Om Adi, Tante Epi, dan ketiga anaknya Andi, Isfan dan Raisa, serta satu orang anak kandung adik Om Adi, Tasya. Obrolan kami berlanjut lagi hingga larut malam, diiringi tawa dan canda, tak peduli malam semakin larut, semakin malam semakin heboh. Maklumlah, inilah kali pertama kami mengunjungi dunsanak jauh sejauh ini dari Payakumbuh. Padahal, sebenarnya hubungan kekerabatan kami sangatlah dekat. Om Adi adalah anak kandung dari adik kandung ayah papa, dengan kata lain papa dan Om Adi adalah sepupu kandung.


Tak terasa, ternyata saat itu sudah hari Sabtu, tanggal 27 Desember, pukul 02.00 WIB. Mama dengan iseng membisikkan ke adik-adik sepupu saya kalau adik saya tengah berulang tahun. Walhasil, adik saya pun dikerjain oleh adik-adik sepupu saya ini. Ditengah malam seperti itu, Andi pun diam-diam membeli telur, tepung dan beberapa bungkus mie Aceh di pasar kota Binjai menggunakan kereta (sebutan sepeda motor bagi orang Medan). Raisa, anak perempuan Om yang paling kecil pun menyiapkan air satu ember untuk disiram. Haha.. Cukuplah penderitaan adik saya malam itu, dilempari telur, disiram tepung dan seember air di tengah malam. Padahal kami baru saja sampai. Hahaha.




Demikianlah sedikit cerita menjelang destinasi keluarga di Medan keesokan harinya. Malam itupun kami istirahat di rumah Om dan berharap hari esok lebih menyenangkan.

#To Be continued. 😀

2 thoughts on “Traveling to Sumut #1: Perjalanan Darat Menuju Binjai Melewati Toba dan Samosir

  1. aminocte

    Waah, asyiknya yang liburan 🙂
    Cerita perjalanannya seru dan detail, jadi serasa berjalan-jalan juga. Kapan-kapan ingin ke Medan juga, semoga suatu saat kesampaian.
    Ditunggu episode berikutnya, an 🙂

    Like

Give a comment