2017 in Flashback

“O you who have believed, fear Allah. And let every soul look to what it has put forth for tomorrow – and fear Allah. Indeed, Allah is Acquainted with what you do.”

(QS.Al-Hasr: 18)

Long road, sumber: http://www.wallpapers-web.com/

Bismillah. Postingan tahun 2018 kali ini saya mulai dengan sedikit mengenang perjalanan hidup yang sudah saya tempuh di tahun lalu. Pasca mengkhatamkan sekian panjang proses pendidikan, tahun 2017 bagi saya adalah tahun pendewasaan, dimana masa depan saya sepertinya baru saja bermula. Tulisan ini mungkin berisi curhatan dan agak lebih panjang dari biasanya, karena itu silahkan memilah-milah bagian mana yang ingin dibaca (walaupun semuanya berkaitan). Semoga ada makna yang bisa kita bagikan.

Selesai Internsip, Ngapain?

Lebih tepatnya, November 2016 (alhamdulillah) saya akhirnya menyelesaikan satu tahun tugas sebagai dokter internship di kota kelahiran saya, Payakumbuh. Sembari menunggu surat tanda registrasi dokter dari pusat, ada jeda waktu sekitar dua bulan. Sempat galau sedari tiga bulan sebelumnya, saya akhirnya mantap memutuskan hijrah ke Padang. Tujuan utama saya ketika itu adalah, melanjutkan kuliah.

Tidak seperti dokter kebanyakan, yang semenjak koas sudah punya cita-cita mau jadi spesialis, saya malah memilih jalur yang sama sekali tidak populer. Karena pengaruh minat yang berbeda, saya memutuskan untuk menyambung S2. Kenapa S2? Alasannya hanya sederhana, cita-cita. Sejak kecil saya pernah bercita-cita jadi guru. Inspirasi masa kecil saya adalah Ibu dan Ayah. Tapi menurut versi ibu saya, saya pernah bilang, “ingin jadi kepala sekolah perguruan tinggi”. Aneh memang, cita-cita anak yang masih berusia tiga tahun. Namun sejatinya, saya jauh lebih berminat menjadi ilmuwan yang berkecimpung dengan dunia riset, pendidikan, dan –tentu saja, jalan-jalan (yang sepertinya bakalan sulit kalau ambil spesialis). Lagipula saya orangnya sangat introvert, dan intimate dengan keluarga dekat, akan sulit menerima sebagian besar waktu dihabiskan bersama keramaian dan orang asing. Pikiran kolot saya berpikir kalau nanti jadi spesialis, waktu saya untuk keluarga akan berkurang karena sibuk di rumah sakit siang dan malam. (Entahlah).

Karena minat yang berbeda itulah, saya awalnya bercermin. “Kenapa tidak saya coba ambil S2 di luar negeri?” pikir saya. Ketika saya melihat ke belakang, TOEFL saya lumayan mendukung, ketika sebelum lulus saya pernah coba ikut tes, hasilnya 548. Ya mungkin latihan sedikit lagi biar nyampe 550, ujar batin saya. Dan yah, niat itupun sampai ketika akhirnya saya memutuskan untuk mengambil studi imunologi di Inggris. Kebetulan, pembimbing akademik saya dulu adalah Profesor Imunologi, dan sekarang tinggal satu-satunya di Sumbar dan akan segera pensiun. Lagipula saya suka bidang yang mengurusi sistem kekebalan tubuh manusia ini, skripsi saya juga dulu berhubugan dengan Asma, salah satu penyakit berbasis Imunologi. Hingga, bismillah, saya sudah haqqul yakin memutuskan mengambil S2 Master of Science (MSc) Imunologi di Inggris.

Setelah riset kecil-kecilan sewaktu masih internsip, tanya sana-sini dan baca-baca di internet, saya menemukan beberapa sekolah imunologi di Inggris yang cukup outstanding. Kenapa pilih Inggris? Alasannya lagi-lagi sederhana, realistis. Inggris punya universitas-universitas terbaik di dunia, termasuk imunologi. Masa kuliah S2nya juga rata-rata hanya satu tahun. Lagipula saya juga pernah ke Eropa, sehingga agaknya cultural shock akan lebih mudah diatasi dan saya akan lebih mudah beradaptasi. Populasi muslim di Inggris juga semakin banyak, jadi masalah ibadah, halal-haram makanan, dan kebutuhan pribadi lainnya insyaallah tidak akan menjadi masalah.

Rata-rata syarat untuk melamar Master di Inggris (terutama bidang kedokteran dan kesehatan) adalah memiliki sertifikat IELTS (International English Language Testing System). Waktu itu saya belum terlalu familiar dengan tes bahasa Inggris mirip TOEFL ini, tapi setelah saya baca-baca ternyata ujiannya sama sekali berbeda. Ada Listening, Reading, Writing, dan Speaking yang masing-masingnya diberi scoring. Nah, untuk melamar MSc Immunology, rata-rata universitas di Inggris mewajibkan calon mahasiswa memiliki score total di atas 6.5 dan minimal 6 untuk masing-masing subjek di atas. Bahkan ada juga yang minta minimal 7, seperti University College London dan deretan universitas dewa lainnya. OMG. Biaya testnya juga muahhall, sekitar 3.8 juta rupiah, dan berlaku untuk 2 tahun. Meski begitu, saya sama sekali tidak patah semangat. Saya pantang nyerah sebelum coba.

Alhamdulillah setelah menabung gaji (baca –BHD, bantuan hidup dasar) internsip sedikit-demi sedikit, saya kira saya sanggup membiayai tes IELTS. Tapi, menurut nasehat teman saya, lebih baik ikut les preparation dulu daripada langsung ikut tes IELTS, karena sistemnya berbeda dan akan sangat frustasi jika target IELTS tidak tercapai. Lagipula, ada trik-trik tersendiri mengikuti IELTS ini. Akhirnya, setelah berkonsultasi lebih lanjut, saya disarankan ikut IELTS Preparation di Edlink-Connex Padang, satu-satunya lembaga resmi penyelenggaran tes IELTS di Sumbar yang diasuh oleh salah satu alumnus universitas di Australia. Karena setuju, saya langsung menghubungi lembaga kursus itu via e-mail dan alhamdulillah dapat segera bergabung dengan di kelas pada bulan November 2016, persis setelah saya selesai internsip. Itulah sedikit cerita saya mengapa akhirnya saya hijrah ke Padang tepat setelah internsip selesai.

Perjuangan Awal Ikut Tes IELTS

Tinggal menumpang di kos adik kandung saya yang masih kuliah Teknik Mesin di Unand, saya memulai IELTS Preparation Course di Edlink-Connex, Padang, dua kali seminggu. Awal-awal ikut kursus, saya terlebih dulu di tes. Hasil tes IELTS pertama saya sangat menyedihkan, 5.5. Jauuuh sekali dari target. Tidak usah saya sebut masing-masing subjeknya berapa. Tapi, saya masih saja berniat ikut, karena sekali memulai saya tidak ingin menyerah dulu.

Bersama lima orang teman baru yang bercita-cita sama, akhirnya saya mulai les. Prosesnya sangat menyenangkan, thanks to Mrs. Diana, guru terbaik kami di Edlink. Beliau banyak mengajari saya hal-hal baru terkait bahasa Inggris dan trik-trik yang sebelumya tidak terbayangkan buat saya untuk bisa berhasil mendapat skor IELTS yang diharapkan. Tapi memang, saya tetap harus banyak latihan. Kalau tidak sedang kursus, siang malam saya belajar di kamar, bahas soal-soal, dengar percakapan English sesering mungkin, ngomong-ngomong sendiri, sampai saya merasa nyaris gila. Wkwk. Tapi saya masih berdoa dan berusaha.

Januari 2017, setelah beberapa kali pertemuan, Edlink akhirnya mengadakan test IELTS sekitaran akhir bulan. Mrs. Diana menawari saya ikut, sampai akhirnya saya coba mendaftar. Karena test ini punya kuota tersendiri dan harus dipesan jauh-jauh hari, saya punya waktu sekitar dua minggu untuk latihan dulu. Saya kemudian kembali mencoba ikut tes IELTS predicition yang diadakan tiap bulan di Edlink. Rasanya saya cukup siap, sampai setelah tes berakhir. Mrs. Diana bilang speaking saya sudah jauh lebih baik, bahkan sampai skor 6.5, tapi saya depresi melihat score listening dan reading saya yang masih jauh dibawah target, bahkan masih sama dengan pertama kali tes dulu. Karena tidak pede, saya memohon untuk mengundurkan diri dari test IELTS bulan Januari itu, dan minta ditangguhkan sampai test IELTS berikutnya di bulan Maret. Menghilangkan depresi, saya kabur ke Lombok dan perjalanan backpacker nekat seorang diri itu pun terjadi. Wkwk.

Masuk ke Dunia Kerja

Sepulang dari escaping ke Lombok, saya kembali ke Padang. Alhamdulillah sekarang pikiran saya sudah jauh lebih tenang berkat hal-hal luar biasa yang saya temui di perjalanan. Saya butuh arah, dan saya yakin saat itu saya sudah mendapatkan arah yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan sabar saya ikut kembali latihan di Edlink, menyempurnakan kelas-kelas yang sempat bolong, dan belajar dengan tekun. Namun, seiring kursus IELTS di sana, alhamdulillah surat tanda registrasi (STR) dokter saya resmi dikeluarkan oleh pusat. Bermodal STR Dokter, saya mulai berani bebas mengisi klinik sana-sini di Padang (meskipun saya sudah ngisi di beberapa klinik ketika dimintai tolong senior), dan ditawari untuk menggantikan posisi dokter jaga di salah satu rumah sakit swasta di Padang. Karena mengingat jadwal dinasnya yang cuma malam hari dengan pasien tidak terlalu banyak, saya setuju. Niat awal saya masih tetap kuliah S2 ke Inggris. Jadi malam hari saya kerja, siang hari saya belajar IELTS. Akhirnya, perjuangan itu masih berlanjut.

Seiring perjalanan karir saya di rumah sakit, -karena niatnya juga masih ingin jadi dosen, jauh-jauh hari sebenarnya saya sudah mengirim surat lamaran kerja di fakultas kedokteran ternama di Padang untuk menjadi dosen kontrak. Modal tanya-tanya sama senior, saya memberanikan diri melamar di bulan November 2016. Namun karena waktu itu suasana kampus masih hangat dengan isu politik pasca pergantian pimpinan fakultas, sampai bulan Februari saya masih belum mendapat panggilan. Oleh sebab itu saya berusaha menikmati keseharian saya bekerja dulu di rumah sakit dan fokus belajar untuk persiapan IELTS yang akan segera diadakan pada bulan Maret.

Drama Tes IELTS

Fragmen ini mungkin akan sedikit saya ceritakan secara terpisah, karena rentang waktunya cukup panjang. Setelah gagal di ujian IELTS prediction di bulan Januari lalu, saya berjuang dengan serius. Karena sadar dengan kemampuan bahasa Inggris saya yang sangat pas-pasan, saya tidak bisa berleha-leha. Saya membuat target pencapaian setiap hari. Waktu itu, sejak pulang dari Lombok, saya menyusun jadwal “8 minggu menjelang tes IELTS”. Setiap minggu ada target tersendiri, saya berazzam untuk menyelesaikan 10 buah modul IELTS Cambridge yang saya peroleh dari Edlink dalam waktu singkat itu, hingga setiap hari saya harus latihan minimal 4x dengan fokus utama listening, reading dan writing. Sehari ini listening, besoknya reading, dan seterusnya. Ketika saya pergi kerja, saya speaking-speaking sendiri di atas motor. Saya juga membuat grafik pencapaian tes yang saya lakukan secara mandiri di kamar kos. Kepala saya jadi sering sakit karena terlalu lama membaca. Kacamata saya nambah minus ke 3.5 dari 3.25. Selama latihan itu berat badan saya juga sampai turun 7 kilo, dari 62 kg ke 55 kg, hingga pas sampai pulang saya sering diledek ayah, “mirip orang Ethiopia”. Belum lagi pasca traveling kulit saya berubah agak eksotis. Hehe. Drama.

Mendekati hari-H ujian IELTS di Bulan Maret, saya tidak berani mengambil IELTS prediction lagi, karena takut down. Modal do’a dan usaha itulah, saya akhirnya berani mendaftar IELTS sungguhan untuk pertama kalinya. Karena kasihan dengan saku belakang saya langsung ludes sudah gajian, ibu saya memberi subsidi untuk biaya makan. Hiks, menyedihkan. Maafkan saya, Mak.

Ketika ujian tiba, saya cuma bisa berdo’a dan tawakal pada Allah saja. Saya punya resep itu dalam hidup. Uang tidak seberapa, mimpi tinggi terus, tapi Alhamdulillah selama ini Allah selalu mengabulkan do’a saya. Saya pun kembali yakin kalau kali ini saya insyaallah akan berhasil. Maka dari itu saya lalui ujian IELTS itu dengan sebaik-baiknya. Lokasi ujian saya ketika itu di salah satu hotel di Kota Padang, saya pun bertemu dengan orang-orang yang luar biasa dari pelosok negeri. Melihat mereka berbicara bahasa Inggris, cukup membuat saya minder, tapi perang harus tetap dijalani. Rezeki mereka untuk mereka, rezeki saya untuk saya. Itu saja yang ada dalam benak saya.

Pasca ujian, saya lega. Setidaknya sementara, karena salah seorang senior yang ikut ujian ketika itu bilang, “Makan tak enak, tidur pun tak nyeyak selama dua minggu ke depan,” maksudnya sebelum pengumuman hasil IELTS keluar dari pihak IDP Australia (penyelenggara IELTS yang sudah terlisensi internasional). Hehe. Saya juga merasakan hal yang sama, terutama ketika pengumuman itu akhirnya keluar.

Pertama kali melihat nilai saya, lutut saya lemas. Score saya cukup, 6.5. Listening 6.5, reading 7.5, speaking 6, tapi melihat hasil writing saya, ternyata tidak mencapai batas minimal mendaftar S2 di Inggris. Innalillah, writing saya hanya 5.5. (Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, masing-masing harus minimal 6). Awalnya saya terduduk, lalu terpikir betapa susahnya belajar IELTS empat bulan terakhir. Menangis? Tidak sama sekali, hanya termenung tanpa ekspresi. Ucapan selamat sudah beredar di grup Edlink bagi mereka yang lulus ujian. Ternyata dari sekian banyak peserta, hanya 2 orang yang gagal. Dan orang itu termasuk saya.

Belakangan, saya curhat dengan Mrs. Diana. Saya ceritakan bagaimana saya menulis essay writing dan sebagainya sampai beliau terheran mengapa nilai saya hanya 5.5. “Dari semua murid saya, saya yakin sekali kalau Aan bisa mendapatkan nilai yang lebih baik,” ujar beliau. Setelah diskusi, beliau kemudian menyarankan saya untuk melakukan remark. Yaitu semacam penilaian ulang berkas writing saya. Karena sifatnya sangat subjektif, masih ada peluang bagi saya untuk mendapatkan hasil writing yang berbeda. “Berkas itu akan dikirimkan langsung ke Australia untuk diperiksa oleh penilai yang berbeda.” Lebih kurang begitu penjelasan beliau. Tapi, remark itu butuh biaya tambahan sekitar 1.6 juta. Jika nilai writing saya berubah menjadi lebih tinggi, uang itu akan dikembalikan. “Tapi jika tidak, uang itu tidak dikembalikan,” ujar beliau.

Akhirnya, setelah menceritakan semuanya pada Ibu saya, dengan tenangnya beliau berkata. “Kalau masih ada peluang, jangan sia-siakan.” Seketika hati saya jadi mantap, dan saya akhirnya setuju untuk melakukan remark pada nilai writing saya. Besoknya saya langsung bikin janji di Edlink dan menandatangani berkas persetujuan. Saya kemudian diminta menunggu 8 minggu kemudian untuk melihat hasilnya. Dalam hati, saya benar-benar berserah diri pada Allah. Apapun hasilnya, insyaAllah itulah yang terbaik.

Diterima Menjadi Dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Sebelumnya saya cerita kalau saya sudah melamar sebagai dosen di fakultas kedokteran ternama di Padang, ya, tentu saja itu adalah almamater saya, Universitas Andalas. Hehe. Ada banyak impian yang ingin saya wujudkan di tempat yang sudah membesarkan nama saya ini, salah satunya mengabdi dengan serius. Saya punya minat sebagai pendidik, peneliti, dan abdi masyarakat. Bagi saya universitas adalah wadah yang paling tepat buat saya dengan tri dharma perguruan tingginya. Lalu mengapa tidak saya mengabdi pada kampus yang sudah mendidik saya jadi dokter seperti sekarang?

Pada Akhir Maret 2017, pasca ikut tes IELTS, saya sempat pulang kampung ke Payakumbuh. Saya duduk berdua dengan Ibu saya di meja makan, curhat, bercerita panjang lebar seperti biasa. Entah kenapa waktu itu Ibu saya bertanya tentang progress lamaran kerja saya di Unand. Saya hanya menjawab “wallahu’alam, Ma.” Lalu beliau bilang, “semuanya pasti ada hikmahnya, mungkin belum diterima karena Allah nyuruh kamu fokus ke IELTS dulu.” Saya mengangguk. Ibu saya benar. Lima menit kemudian, tiba-tiba telepon saya berbunyi. Sahabat dekat saya menelepon.

“Aan, Alhamdulillah lamaran Aan sudah diterima di kampus, siang ini Dekan minta ketemu.” Suara itu terdengar girang. Ternyata teman saya ini juga melamar di kampus yang sama sebagai dosen. Mendengarnya saya langsung sujud syukur. Ibu saya juga gembira setelah tahu, dan momen itu benar-benar membuat bulu kuduk saya merinding. “Benar, kan?” ucap Ibu saya yang seolah-olah selalu bisa menebak apa yang akan terjadi.

Besoknya, saya langsung berangkat ke Padang. Karena tak sempat bertemu dekan ketika itu, saya akhirnya cukup diminta menghadap wakil dekan 2. Alhamdulillah, beliau menyambut saya dengan baik. Setelah wawancara, saya langsung diterima. Beberapa hari setelahnya saya diikutkan pelatihan Tutor bersama dosen-dosen baru lainnya, yang rata-rata sudah spesialis. Setelah itu saya dan teman saya akhirnya menandatangani kontrak kerja. Dengan begitu, sekarang saya sudah mendapat tugas baru, sebagai dosen non PNS FK Unand. Alhamdulillah wa syukurillah. Perlahan keinginan saya dikabulkan oleh Allah, di saat yang benar-benar tepat. Rencana Allah sungguh luar biasa.

Pengumuman Hasil Remark IELTS

Bulan April 2017 hingga dua bulan berikutnya, alhamdulillah, saya mulai menikmati keseharian saya menjalani tugas di FK Unand dan di rumah sakit. Mungkin bahagianya juga karena faktor niat dari diri saya sendiri akan pilihan itu, meskipun di tengah perjalanan tugas ada kendala-kendala yang menghadang, tapi saya berusaha tetap semangat dan bersyukur.

Sambil menunggu hasil remark IELTS, saya masih memendam niat kuliah S2 Imunologi di Inggris, oleh sebab itu sembari bertugas di kampus saya mulai mengurus dokumen-dokumen persyaratan untuk mendaftar di beberapa universitas di sana secara online. Beberapa berkasnya antara lain surat rekomendasi dari professor imunologi, dari dekan, personal statement, ijazah dan transkrip sarjana, dan sertifikat IELTS yang saya dapatkan tempo hari meskipun nilainya masih tidak mencukupi. Siapa tahu masih bisa dapat LOA conditional (surat tanda terima bersyarat), pikir saya. Akhirnya, saya mulai fokus melamar ke University of Manchester, Imperial College, dan lain-lain. Hal yang sangat saya syukuri adalah proses itu saya lalui ketika saya sudah berstatus sebagai dosen di FK, jadi ketika saya meminta surat rekomendasi baik dari dekan dan professor saya, Allah memberikan banyak kemudahan, alhamdulillah.

Satu bulan setelah memasukkan lamaran sana-sini, rupanya belum ada tanda-tanda penerimaan. Saya masih berpikir positif, barangkali karena periode pendaftarannya yang cukup lama. Sampai akhirnya hal yang saya tunggu-tunggu tiba-tiba datang. Hasil remark IELTS baru saja dikirimkan ke email saya. Baru saja saya membaca email itu, mata saya langsung berkunang tidak percaya, writing saya naik jadi 6. Alhamdulillah. Seminggu kemudian, uang saya kembali ke rekening. Mrs.Diana pun ikut senang dengan pencapaian saya. Kini, Alhamdulillah, IELTS saya sudah mencapai syarat: 6.5 dan minimal 6 disemua subjek.

Pasca mendapat sertifikat IELTS yang baru, saya langsung melamar di universitas yang belum sempat terpikir sebelumnya namun justru menawarkan program studi yang menurut saya sangat cocok dengan penelitian skripsi saya beberapa tahun yang lalu: University of Glasgow dengan subjek MSc in immunology and inflammatory disease. Saya langsung coba memasukkan lamaran, dan alhamdulillah empat hari berikutnya saya langsung dikirimkan Letter of Acceptance Unconditional untuk studi tahun 2017. Sempat tidak percaya, saya kirim LoA itu ke salah seorang senior saya alumnus University of Glasgow untuk meyakinkan saya. Beliau berkata bahwa saya sudah diterima di universitas yang berada di Skotlandia, UK itu bebas tanpa syarat apapun. Itu artinya, yang saya butuhkan sekarang hanya biaya saja. Karena mulai studinya tahun 2017, saya mengajukan permohonan defer ke tahun 2018, lebih tepatnya September 2018 dan alhamdulillah dikabulkan oleh pihak universitasnya. Oleh sebab itu, saya mulai berpikir untuk mencari dana, salah satunya melalui beasiswa pemerintah yang ternyata akan dibuka dalam waktu dekat, LPDP.

Drama Beasiswa LPDP

Dibuka pada bulan Agustus 2017, saya bersama teman saya yang sama-sama mengambil dosen di FK Unand tempo hari mantap mendaftar seleksi beasiswa Magister Luar Negeri LPDP. Berbagai persyaratan kami lengkapi satu per satu, mulai dari empat buah essay yang lebih kurang bertema kontribusi untuk Indonesia dan rencana studi di masa depan, lalu surat pernyataan, surat rekomendasi, surat sehat (termasuk bebas TB dan NAPZA yang harganya lumayan bikin kantong menjerit), dan masih banyak lagi termasuk LoA yang sudah saya dapatkan (meskipun tetap bisa mendaftar walaupun belum ada LoA). Semuanya itu kami buat dalam bahasa Inggris, syukurlah teman saya dengan senang hati membantu mengoreksi terjemahan saya.

Seleksi beasiswa LPDP sendiri berlangsung beberapa tahap. Tahap pertama seleksi administrasi dokumen, lalu assessment online, dan terakhir sepaket tes wawancara, LGD, dan essay on the spot. Memantapkan diri mendaftar, alhamdulillah kami berdua lulus dua seleksi awal yang prosesnya saja belangsung dua bulan. Napas saya sempat kembang kempis setiap kali melihat pengumuman. Akhirnya, kami berdua sampai ke seleksi tahap akhir, yakni wawancara. Karena bisa memilih, teman saya memilih wawancara di Medan sementara saya memilih di Jakarta karena faktor keluarga. Namun saya mengakui, persiapan saya menghadapi LPDP memang kurang maksimal jika dibandingkan perjuangan ketika IELTS dulu.

Ketika akhirnya mendapatkan jadwal pasti wawancara, saya kemudian diantar oleh adik saya ke Bandara Internasional Minangkabau sehari sebelum seleksi berlangsung. Perasaan saya ketika itu agak aneh, saya sama sekali tidak bersemangat. Selain karena pergi sendirian dan tidak punya kawan, saya belum yakin dengan tes seperti apa yang akan saya dapat esok hari meskipun saya sudah sering membaca kisi-kisi di grup telegram calon pelamar LPDP yang saya join sekitar sebulan sebelumnya. Ketika naik pesawat, saya cuma melamun, berat untuk melangkah, dan entahlah. Meski begitu, saya tetap berusaha membaca ulang essay-essay yang sudah saya buat sebelumnya untuk modal wawancara.

Sampai di Jakarta, saya menginap di Tangsel, pasalnya wawancara saya diadakan di STAN. Dua hari seleksi, saya berusaha memberikan yang terbaik. Do’a, usaha dan tawakkal tetap jadi modal saya, meskipun do’a saya ketika itu, “Jika ini yang terbaik maka berikanlah kemudahan, ya Allah.” Dan Alhamdulillah, perasaan saya usai wawancara, LGD (Leaderless Group Discussion) dan menulis essay on the spot benar-benar lega. Setidaknya, segala niatan saya saat wawancara semuanya sudah sesuai dengan target yang saya tetapkan ketika latihan, dan saya merasa jika wawancaranya kembali di ulang maka jawaban saya akan tetap sama.

Satu bulan kemudian, pasca seleksi hasil LPDP, grup telegram mulai heboh, karena pengumumannya sempat diundur beberapa kali karena banyaknya peserta yang melamar. Sampai ketika suatu hari di waktu Ashar usai shalat, saya membuka portal akun saya di situs LPDP dan mendapati kabar itu. Rupanya, bukan kabar baik. Saya belum ditakdirkan lulus LPDP. Sedih? Entahlah. Agak sulit mendeskripsikan perasaan saya ketika itu. Dalam hati saya justru bertanya, Apakah bukan ini yang terbaik?

Ketika saya mengabari Ibu dan Ayah yang sudah menunggu info itu sejak lama, Ibu saya bilang, “Ya berarti masih ada yang lebih baik daripada itu.” Seketika, hati saya kembali tenang. Meskipun teman saya justru lulus, saya sama sekali tidak kecewa, justru sebaliknya, saya sangat senang karena saya tahu perjuangan teman saya juga tidak mudah untuk bisa mendapat beasiswa itu. (Banyak pula dramanya, hehe.) Tapi, alhamdulillah kolega-kolega saya di kampus, teman dekat, keluarga dan saudara-saudara saya selalu memberikan support. Saya masih ingat ketika ayah saya bilang, “Sukses itu bukan saat kita kaya atau kita ada di atas, tapi sukses itu adalah ketika kita berhasil menghadapi masalah.” Kalimat-kalimat itu sungguh membuat lunak hati saya untuk menerima kenyataan. Saya kembali semangat. Makasih Pa.

Fokus di Kampus dan Rumah Sakit

Setelah drama LPDP selesai, saya merasa baru saja keluar dari perang sebagai syuhada. Haha. Saya memang kalah tapi saya yakin rencana Allah jauh lebih indah, insyaAllah. Saya berusaha bersabar, bersyukur dan menjalani apa yang sudah saya dapat ketika itu dengan sebaik-baiknya. Jadi tutor mahasiswa kedokteran, instruktur skillab mereka, panitia ujian akhir dokter (UKMMPD), membimbing mereka yang mengulang ujian, membantu mengerjakan tugas-tugas manajerial dosen di kampus hingga dipercaya mengemban tugas-tugas sebelumnya yang lebih berat dan menantang, sungguh memunculkan perasaaan puas dan bahagia tersendiri di hati saya. Saya juga bersyukur sekali diperkenalkan dengan sahabat-sahabat baru di lingkungan kampus, mulai dari sejawat sesama dosen non PNS, senior-senior, dosen-dosen, pegawai, sampai semua kalangan. Alhamdulillah, saya dapat merasakan sambutan hangat dan tulus dari mereka. Ibu saya juga bilang, “tidak semua orang bisa bergaul dengan orang-orang berpendidikan tinggi, maka dari itu ambillah pelajaran yang banyak dari mereka.” Saya sungguh berusaha mengingat pesan beliau sebaik-baiknya. InsyaAllah, Ma.

Tidak hanya di kampus, di rumah sakit saya juga kembali berkhusyu’ melayani pasien yang datang tengah malam, menghibur perawat-perawat yang kurang tempat curhat, dan bergurau ria dengan sejawat yang seperjuangan. Untuk semua itu, maka saya baru menyadari satu hal, Allah begitu sayang dengan saya.

Amalan Yaumi Hingga Niat Naik Haji

Dari sekian banyak cerita yang menghiasi perjalanan saya di tahun 2017 lalu, mungkin cerita ini adalah cerita terbaik yang saya punya ketika itu. Berawal dari Ramadhan 2016, saya sempat iri dengan seorang imam muda di mushalla rumah tempat tinggal saya yang hapal banyak ayat Al-Qur’an, padahal SMA pun beliau belum tamat. Saya juga merasa bodoh, mengapa saya tidak menghapal Qur’an sejak dulu? Sejak saat itu saya punya niat untuk menyempatkan diri menghapal Qur’an meski ditengah banyak godaan dan kesibukan. Walau kemampuan menghapal saya memang sangat kurang, saya berusaha sedikit demi sedikit sampai hapal beberapa surat panjang di Juz Amma dan insyaAllah akan terus saya tambah setiap ada kesempatan. Semenjak itu, saya meresakan ketenangan batin yang sulit untuk dideskripsikan, dan mulai memperhatikan kualitas amalan yaumi saya yang masih centang perenang.

Saya ingat salah satu hadits Nabi SAW yang artinya, “Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” (HR.Muslim). Bermodal dengan keyakinan saya setelah membaca sebuah buku tentang keajaiban sedekah, saya lalu merutinkan sedekah setiap hari ketika shalat berjama’ah di masjid dekat kos tempat tinggal saya. Nilainya tidak banyak, hanya Rp 2.000 sampai Rp 10.000, tetapi setiap hari (paling tidak sekali tiap shalat magrib berjamaah). Amalan itu sudah saya tekuni sejak awal tahun sampai saat ini. Di antara keajaiban sedekah adalah akan dilipatgandakannya pahala dan harta kita di dunia dan di akhirat, sesuai dengan firman Allah, “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 261).

Semenjak melakukan kebiasaan itu, diiringi dengan shalat dhuha yang saya rutinkan setiap pagi, alhamdulillah saya sama sekali tidak pernah merasa kekurangan lagi, bahkan selalu ada kelebihan untuk saya bagi buat saudara di kampung saat lebaran dan masih sempat untuk berkurban di Hari Raya Idul Adha. Meskipun gaji saya dibandingkan sejawat-sejawat dokter lainnya yang sudah melanglang buana tidak bisa dibandingkan jumlahnya, alhamdulillah masih ada tersisih tabungan yang cukup sampai Allah berikan banyak kemudahan. Sampai akhirnya niat besar itu muncul.

Terinspirasi dari kisah perjalanan Buya Hamka, lalu salah seorang sahabat (senior) saya yang baru kembali dari umroh, dan juga motivasi dari ulama-ulama ketika saya mendengar khutbah Jum’at, niat itu sudah mengakar di benak saya. Tahun depan saya harus mendaftar haji. Lagipula mengingat daftar antriannya yang sangat lama, tidak ada salahnya saya mendaftar lebih awal. Saya masih berdoa semoga rezeki saya masih dilancarkan oleh Allah agar uang itu terkumpul tahun depan. Namun rupanya Allah berkata lain, alhamdulillah rezeki itu datang ketika akhir bulan hingga akhirnya saya bisa menunaikan niat itu segera. Wasyukurillah, ketika niat suci itu datang Allah seolah-olah langsung menyambut saya dengan panggilan ke tanah suci. Labbaikallah.

Berdua bersama ibu saya yang sudah tiga bulan sebelumnya mendaftar, saya pun ikut mencatatkan nama sebagai calon haji. Meski harus menanti sampai 17 tahun (menurut informasi dari pegawai Departemen Agama di Payakumbuh yang memperkirakan saya berangkat tahun 2034), setidaknya niat itu sudah tersampaikan. Saya berharap bisa mendampingi ayah dan ibu ketika naik haji nanti, atau jika tidak, kapanpun asalkan Allah sudah meridhoi. Semoga Allah memberi saya waktu. Saya hanya tidak ingin menunda-nunda kewajiban saya pada Allah ketika mampu, padahal selama ini Allah telah melimpahkan banyak sekali karunia-Nya yang mustahil bisa saya hitung satu per satu. Saya juga tidak ingin pergi haji ketika sudah renta, yang menyebabkan saya sulit melakukan ibadah dengan maksimal dan semestinya. Oleh sebab itu, mengapa tidak anak muda mendaftar haji ketika ia yakin sudah mampu?

Rencana di 2018

Sejatinya masih banyak hal yang telah terjadi di sepanjang 2017, namun tentu tak semuanya bisa saya sampaikan. Apatah itu berkaitan dengan rencana masa depan, termasuk yang berhubungan dengan pelengkap separuh agama. Cie. Hehe. Namun, saya berharap di tahun 2018 semua yang saya (dan tentu saja kita) cita-citakan dimudahkan oleh Allah, dan segala pekerjaan yang kita tekuni diridhoi oleh Allah. Itu saja. Yang buruk semakin berkurang, yang baik semakin bertambah. Pahala makin banyak, dosa makin berkurang. Semoga demikian.

Akhirnya, dari perjalanan ringkas saya selama tahun 2017 kemarin, saya belajar banyak hal. Man jadda wa jada itu ternyata memang benar. Tapi tidak semua yang kita pandang baik adalah baik menurut Allah. Tetap kepada-Nya kita menggantungkan urusan. Jangan terlalu berangan-angan, tapi jangan pula takut bercita-cita. Jangan kalah sebelum berperang. Prinsip perang seorang muslim adalah, hidup mulia atau mati syahid. Oleh sebab itu niat awal kita mestilah diluruskan. Orang bisa semangat menjalani hidup karena ada yang dia harapkan. Dan semoga apa yang kita harapkan adalah apa yang Allah sediakan ketika kita pulang ke akhirat nanti, yaitu ridho-Nya, surga-Nya, dan wajah-Nya.

Akhirnya, umur kita semakin hari semakin berkurang. Setahun pun sudah berlalu, maka semoga 2018 akan menjadi massa yang lebih baik. Amin.

Semoga yang saya bagi ini ada manfaatnya. Wallahu musta’an, hadanallah.

5 thoughts on “2017 in Flashback

  1. ainicahayamata

    Weeew Aan, mupeng kakak membaca perjalanan Aan untuk mencapai skor IELTS-nya ^_^ .
    Sejujurnya memang proses berdarah-darah seperti itulah yang harus dilewati oleh orang-orang macam kita ini utk bisa kesana, meski banyak juga yang bisa mendapatkan skor dengan mudah, tapi seperti kata lirik lagu, “That’s how a superhero learns to fly”, proses learning setiap orang akan berbeda.

    Pengalaman serupa pernah kakak alami untuk target TOEFL, dan sayangnya kakak belum bergerak untuk melakukan metode yang sama untuk IELTS. Usahanya masih minimalis.

    Semoga Aan tidak lelah untuk mencoba meraih scholarship ke LN, masih banyak jalan utk menuju Roma kan, An. 😀

    Liked by 1 person

Give a comment