Short Trip ke Teluk Bayur dan Gunuang Padang

Short trip kali ini saya manfaatkan untuk mengunjungi beberapa tempat menarik di kota Padang, diantaranya Teluk Bayur dan Gunuang Padang. Niatnya cuma ingin rehat sejenak sambil mengisi waktu luang sambil menikmati pemandangan lautan yang sudah lama tidak saya lihat semenjak internsip. Mengendarai sepeda motor, saya pertama kali bermaksud melihat-lihat pantai di Teluk Bayur, sehingga saya menempuh jalur bypass Kota Padang dan sampai ke kawasan yang berada di paling selatan kota dan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan itu. Destinasi lainnya yaitu Gunuang Padang, yang letaknya berbeda lokasi dengan Teluk Bayur, belum pernah saya kunjungi sekalipun, padahal kabarnya pemandangan di atas sana sangatlah bagus. Maka akhirnya kedua tempat itu pun menjadi pilihan saya untuk melihat-lihat laut di kota Padang.

Mengenai ibukota Propinsi Sumatera Barat ini, selain memang memiliki alam yang indah, karena menghadap Samudera Hindia dengan ombaknya yang besar, dan dikelilingi oleh Bukit Barisan yang memukau, kota ini punya banyak destinasi wisata unik yang sempat mati suri setelah gempa besar meluluh lantahkan kota tahun 2009 silam. Meski masih terseok-seok memperbaiki infrastruktur kota yang hancur akibat gempa, kota ini masih tetap indah untuk ditelusuri. Penelusuran pertama saya pun akhirnya dimulai di kawasan Teluk Bayur yang terkenal dengan pelabuhannya yang ramai dan pemandangannya yang eksotis.

Pelabuhan Teluk Bayur sendiri mungkin bisa dibilang adalah salah satu pelabuhan tersibuk di pesisir barat Sumatera. Areanya cukup luas, dan usianya bahkan sudah lebih tua dari republik ini, karena dahulu kala merupakan pusat perdagangan di pesisir barat Sumatera pada zaman Belanda. Pemandangan kapal-kapal kargo, kapal penumpang dan feri yang berlayar di lautan merupakan hal yang selalu menyita perhatian saya jika melewati jalan di tepi pelabuhan itu. Jalan raya tersebut merupakan jalan yang menghubungkan kota Padang dan kota Painan di Kabupaten Pesisir Selatan. Melewati perbukitan yang meliuk-liuk, kita dapat melihat lautan dan aktifitas pelabuhan dari ketinggian dari jalan tersebut.

img_0767
Secuil pemandangan Teluk Bayur
img_0769
Pelabuhan Teluk Bayur
img_0773
Kapal-kapal Kargo yang menarik perhatian

Selain pemandangan lautan lepas yang indah, di sepanjang jalan kita juga bisa menemukan satwa-satwa liar yang berkeliaran, terutama monyet-monyet hutan. Tapi kita tak perlu takut, karena sebagian besar mereka sangat jinak. Beberapa pengendara bahkan sengaja berhenti hanya sekedar melihat tingkah polah monyet-monyet liar itu bergelantung di pohon bahkan sampai memenuhi pinggiran jalan. Mereka juga tidak segan memberi makan monyet-monyet itu hingga hewan itu semakin ramai. Kejadian unik ini mengundang masyarakat untuk berjualan di sekitar area pemberhentian. Saya sendiri sempat membeli sekantong plastik kacang tanah dari bapak-bapak yang berjualan di sana, niatnya cuma pengen ngasih makan monyet-monyet itu. Sampai akhirnya saya kaget ketika seekor monyet mendekati saya dan kantong plastik yang penuh berisi kacang yang baru saya beli itu direbut oleh si monyet tiba-tiba begitu saja. Kan bikin kaget! Ckck. Kejadian itu membuat orang-orang tertawa. Dari pada malu-maluin, mending saya ikut ketawa juga. Haha.

img_0737
Tersangka utama perampok kacang, ckck
img_0740
Habis ngerampok, makan bareng-bareng
img_0759
Monyet termenung dengan latar belakang pelabuhan Teluk Bayur

Usai berhenti sejenak di atas bukit pantai di daerah bernama Bungus itu, saya kemudian membawa motor saya menelusuri sebuah bukit yang menjorok ke pantai  Padang. Bukit ini cukup unik, karena menjorok ke laut. Lokasinya berada di kompleks jembatan Siti Nurbaya Padang, yakni di seberang selatan dari muara Sungai Batang Arau Kecamatan Padang Selatan. Menurut legenda, bukit ini merupakan makamnya Siti Nurbaya, salah satu tokoh fiktif dalam roman klasik ‘Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai’ karya pujangga Marah Rusli. Roman yang kental dengan budaya adat Minangkabau ini berkisah tentang kisah cinta Siti Nurbaya dan Samsul Bahri yang diputuskan oleh takdir. Karena lilitan hutang orang tua, Siti Nurbaya harus dijodohkan dengan Datuak Maringgih, sementara Samsul Bahri pun dipaksa ke Batavia. Siti Nurbaya pun diceritakan tewas ditangan suaminya itu, sementara Datuak Maringgih akhirnya mati di tangan Samsul yang kemudian juga terbunuh dalam sebuah pertarungan.

Bukit yang menjadi saksi kisah Siti Nurbaya itu pun sekarang dinamai Gunung Padang (dalam bahasa Minang disebut Gunuang Padang), sebab bukit itu merupakan daratan paling tinggi di pesisir kota Padang, yang memisahkan Pantai Padang (Orang Padang biasanya menyebut Taplau, alias singkatan dari Tapi Lauik, atau tepi laut) dengan Pantai Air Manis, yang terkenal dengan legenda Batu Malin Kundang. Gunung Padang itu sendiri memiliki ketinggian sekitar 80 meter di atas permukaan laut, dan saat ini pemerintah sudah menyediakan sebuah tracking untuk menelusuri tepian gunung hingga sampai ke puncaknya.

Pertama kali mencoba menjelajah rute tracking menuju puncak Gunung Padang, kita mesti menyeberangi Jembatan Siti Nurbaya terlebih dahulu, setelah itu mengambil jalan ke arah muara sungai Batang Arau. Tepat di dekat muara yang disuguhi oleh pemandangan perkampungan nelayan tradisional yang padat, kita bisa menemukan pintu gerbang menuju jalan tracking Wisata Gunung Padang. Di sana tersedia tempat parkir kendaraan roda dua maupun roda empat yang dikelola oleh warga sekitar.

img_0787
Salah satu sudut di tepi dermaga perahu nelayan tradisional, Muaro, Padang

 

img_0843
Pelataran gerbang masuk jalur tracking Gunuang Padang
img_0841
Gerbang masuk tracking, kita membayar karcis masuk di sini.

Dengan modal karcis Rp 5.000 rupiah per orang, kita bisa masuk ke jalur tracking yang melewati perkampungan penduduk di kaki bukit. Kesannya begitu natural, melewati rumah-rumah warga yang sebagian besar sangat sederhana. Mereka membangun rumah tepat di tepi-tepi tebing yang menghadap ke muara, sehingga bisa dilihat dari jauh. Cuma sayang, beberapa warga di sini sepertinya masih belum terlalu peduli dengan kebersihan, sehingga kesan awalnya cukup kumuh. Sampah masih berserakan di selokan dan tepian dermaga, walaupun sudah tersedia plang larangan buang sampah sembarangan oleh pemerintah. Mungkin akibat kondisi pendidikan dan ekonomi masyarakat yang belum baik, jadi kesadaran untuk hidup bersih memang masih kurang di tempat ini.

img_0796
Jalur tracking menuju puncak bukit
img_0793
Suasana ketika berjalan di awal track

Meski demikian, saya masih bisa menikmati jalur pendakian yang sudah disemen dengan baik sepanjang perjalanan. Jalur ini mengitari sisi bawah perbukitan dan mulai mendaki sedikit demi sedikit sampai kita menemukan beberapa tempat peristirahatan dan peninggalan-peninggalan sejarah kolonial Jepang yang sayang sekali kurang terawat. Misalnya sebuah ruangan semacam gudang, yang tampak berisi sampah perabotan-perabotan warga. Kita bisa juga melihat meriam peninggalan Jepang di sisi lain, yang kondisinya sudah lebih baik. Beberapa bangunan pertahanan dan tempat memanah juga masih ada di beberapa sudut, namun sayang, saya tidak bisa menggali sejarah yang lebih dalam karena masing-masing peninggalan itu tergeletak begitu saja dan tidak begitu atraktif untuk mengedukasi pengunjung mengenai benda apa itu, apa gunanya, dan bagaimana sejarahnya. Mungkin ada baiknya pemerintah menyediakan sarana edukatif seperti papan informasi, petunjuk jalan, dan sebagainya sehingga setiap pengunjung bisa belajar disamping menikmati pemandangan laut lepas yang indah di sepanjang jalur tracking yang teduh.

img_0802
Salah satu bangunan tua peninggalan Jepang, saat ini seperti tidak terurus
img_0803
Pintu masuk ke gudang meriam Jepang
img_0840
Salah satu sudut jalur tracking
img_0837
Jalur tracking ke puncak bukit
img_0805
Gudang meriam peninggalan Jepang
img_0806
Mulut meriam, ada tulisannya, tapi kurang jelas
img_0808
Badan meriam diliat dari dalam gudang
img_0807
Penjelasan tetang meriam
img_0811
Bangunan lain peninggalan Jepang di salah satu sudut jalur track
img_0812
Menaiki jenjang mendaki
3-_menjelang_puncak_kita_akan_menemukan_kuburan_yang_diduga_peristirahatan_terakhir_siti_nurbaya_
Semakin mendaki jenjang semakin curam dan melewati tebing-tebing besar, salah satunya kuburan Siti Nurbaya (image: indoensiakaya.com)

Semakin jauh berjalan, saya kemudian harus melewati beberapa anak tangga yang berkelok-kelok dan sangat curam untuk sampai ke puncak Gunung Padang. Cukup untuk menguras keringat dan membuat nafas saya sesak, hehe. Sampai akhirnya kita akan disuguhi sebuah taman terbuka di puncak bukit yang dinamai Taman Siti Nurbaya. Kesan awal, teduh banget. Tamannya ditumbuhi oleh pohon-pohon yang rindang sehingga terasa sejuk meskipun cuaca sangat panas. Angin yang berhembus benar-benar membuat saya lega untuk duduk sejenak. Namun, yang paling berkesan adalah menyaksikan pemandangan Kota Padang yang menantang lautan dengan sangat jelas dari salah satu sudut taman yang telah disediakan bangku-bangku untuk bersantai. Indah banget! Kota Padang kelihatan luas juga, dengan lanskap kota yang diapit oleh lautan di sisi barat dan pegunungan di sisi timur. Di sudut lain, jika menoleh ke barat, kita juga bisa melihat pemandangan lautan lepas Samudera Hindia yang biru, dan tepian pantai Air Manis yang pasirnya putih banget dan pantai Bungus yang hijau serta pulau-pulau kecil di sisi selatan. Ku kira pemandangan yang lebih luar biasa mestilah pada saat matahari terbenam. Speechless! 

img_0830
Pemandangan Kota Padang dari atas Gunuang Padang
9-_di_sisi_barat_kita_dapat_menyaksikan_pemandangan_samudera_hindia_dan_pulau_pisang_besar_di_lepas_pantai_air_manis_
Salah satu sudut pemandangan di sisi selatan (image: indonesiakaya.com)

Momen yang paling keren ketika itu adalah saat azan berkumandang. Saya sendiri kebetulan sampai di sana ketika Ashar, jadi sempat menikmati nuansa religius yang sulit untuk diekspresikan. Secara serempak, suara azan akan menggema dari ratusan masjid yang ada di Kota Padang. Semuanya terdengar dari atas bukit. Masjid Raya Sumatera Barat yang ikonik tampak paling menarik perhatian. Selain yang paling besar dan paling mencolok, masjid itu tampak indah sekali. Benar-benar suasana yang damai.

img_0814
Masjid Raya Sumatera Barat yang masih dalam proses pembangunan

Namun, semakin lama diperhatikan, sisi lain dari pemandangan ini mungkin begitu sarat dengan makna. Jika direnungkan, kota ini, seolah-olah dijaga oleh laut dan pegunungan, yang tentu saja, bisa berbalik menjadi murka jika penduduknya mulai durhaka. Naudzubillah. Melihat kota yang tidak seberapa besar dibanding lautan yang sangat luas dan gunung-gunung yang membentang, disitulah saya menyadari bahwa kita ini hanyalah makhluk yang sangat kecil dibadingkan alam semesta. Semoga kota yang indah ini akan selalu terjaga, dan semoga tidak ada lagi bencana melanda Padang kota tercinta.

Bacaan: indonesiakaya.com

Give a comment