Mengagumi Saksi Tsunami di Museum Kapal Banda Aceh

Sebelum kisah ini bermula, keramahan Banda Aceh kian terasa saat saya dan Adik baru saja duduk di sebuah rumah makan kayu tak jauh dari pusat kota. Di atas meja terhidang puluhan aneka lauk pauk dan kuliner khas Aceh. Macam-macam kiralah namanya, tak seluruhnya familiar di telinga. Sie kameng masak aceh (gulaing kambing?), ikan paya, ayam gulee, goreng udang, dan sambal aceh beraneka rupa (apakah bercampur ganja? Entahlah) tersusun apik mengundang selera. “Mak nyus!” si Adik tampak bahagia. Makan besar kami siang itu memang tiada duanya. Yang penting bismillah tidak lupa.

DSC_1211
Makan enak di kedai warung nasi khas Aceh

Bermodal naik sepeda motor, kami melanjutkan kelana keliling ibukota negeri serambi Mekah usai makan siang. Setelah shalat dzuhur dan bergolek-golek sejenak di masjid raya Baiturrahman terlebih dahulu, kami berdua lalu memutuskan pergi ke sebuah museum tiada tanding di arah selatan kota. Bukan sebuah rumah, namun museum ini adalah sebuah kapal raksasa yang pada tahun 2004 terseret oleh dahsyatnya tsunami yang menerjang sampai lima kilometer jauhnya dari bibir pantai. Tempat ini bernama PLTD Apung, singkatan dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Apung. Ya, kapal besar ini adalah bekas pembangkit listrik tengah laut yang telah berlayar mengelilingi pulau-pulau nusantara demi menyediakan pasokan listrik pada awal-awal era reformasi. Ketika kapal ini berada di lepas pantai Banda Aceh, kala itulah tsunami menghantam.

Kami berdua tiba di museum PLTD Apung tepat pukul 2 sore, saat gerbang masuk pintu karcis baru saja dibuka kedua kalinya pasca istirahat shalat. Pertama kali mendekati area ini, tak ada yang istimewa, karena lokasi kapal ini berada di tengah-tengah pemukiman penduduk. Tapi, jika memandang wujudnya yang besar dari kejauhan, siap-siap mata jadi terpana. Kedahsyatan tsunami langsung terbayang di benak. Jika bertanya sebesar apa kekuatan tsunami ketika itu, jawabannya dapat diketahui dengan mata kepala.

PLTD Apung ini adalah kapal generator listrik milik PLN Banda Aceh yang beratnya mencapai 2.600 ton dengan panjang 63 meter. Kapal ini terakhir berlayar dari Pontianak untuk memasok kebutuhan listrik Banda Aceh di tahun 2003 yang sedang krisis saat masa-masa konflik bersenjata antara TNI dan GAM. Gelombang tsunami setinggi sembilan meter membawa kapal ini terdampar di posisinya sekarang, yakni di Gampong Punge Blang Cut. Konon, dari 11 orang awak kapal, hanya satu yang selamat, selebihnya hilang dihanyut gelombang besar.

Saat saya berdiri di atas kapal yang dinding-dinging besinya sudah mulai tampak mengarat, saksi bisu itu seolah bicara. Ah, kuduk saya merinding kalau membayangkan bencana itu. Tapi saya salut dengan pemerintah Aceh yang membiarkan kapal ini bertahan dan diubah menjadi sebuah museum. Tepat di lambung kapal, kita akan disuguhi oleh berbagai macam informasi mengenai sejarah kapal ini dan bermacam pengetahuan tentang bencana tsunami. Setiap spot ditampilkan dengan gaya futuristik, mirip di film-film fiksi ilmiah. Banyak bacaan di sini, membuat saya betah berlama-lama. Saya juga sempat naik ke lantai dua kapal, tapi sayang tak semua bisa saya lihat karena ternyata waktu berlalu cepat dan kapal akan segera ditutup. Meski demikian, saya sangat puas.

Tak hanya di dalam lambung kapal, kita juga bisa memanjat sampai ke puncaknya melewati tangga-tangga sempit. Sejatinya banyak benda-benda unik yang ada di atas kapal ini, seperti mesin-mesin tua, teropong, pipa cerobong asap, dan lain-lain. Bendera-bendera merah putih yang terikat di tiang-tiang kapal berkibar-kibar diterpa angin laut, membuat pemandangan kolosal dan patriotik. Namun yang lebih membuat kagum adalah panorama seantero kota yang dapat kita lihat dengan jelas saat berdiri di atas tempat ini: lautan bersanding pemukiman dan pegunungan. Duh, sedap dipandang.

Ketika kami berdua sudah puas di atas kapal, masih ada spot lain di sekitar museum yang mampu menjadi objek renungan, misalnya Rumah Puing, yiatu bekas puing-puing rumah yang rusak dihempas tsunami dan dirawat sedemikian rupa. Ada lagi taman-taman kecil dan monumen tsunami yang di sana tertulis nama-nama para korban. Jika hendak membeli suvernir, ada juga toko-toko representatif di luar pagar museum. Barang-barang yang dijual bermacam-macam, mulai dari kaos hingga pernak-pernik.

Sekembali dari museum, setidaknya saya bisa mendapat pengetahuan banyak mengenai tsunami. Kapal ini juga mengajak kita merenung, bahwa Allah swt senantiasa mengawasi. Bencana dahsyat bisa saja turun kapan saja. Sekuat apapun kapal ini, ia tetap tak berdaya di bawah kekuasaan-Nya. Apalagi kita, manusia mungil yang keras kepala dan kadang lupa dan terlena. Astaghfirullah. Semoga kita selalu kembali kepada-Nya.

Pernah ke PLTD Apung sebelumnya?

3 thoughts on “Mengagumi Saksi Tsunami di Museum Kapal Banda Aceh

  1. Mawardi Ramli

    Walaupun masyarakat Aceh ada (pernah) menggunakan biji ganja, namun tidak setiap masakan layak (enak) menggunakan ganja sebagai pelengkap bumbunya, hanya Kari kambing Dan bumbu mie aceh yg cocok diberi tambahan tersebut. Setelah resep “rahasia” tersebut diketahui umum, para pedagang makanan, warung, restoran tertentu memberi nama “ganja” pada jenis masakan tertentu yang mereka unggulkan walaupun sama sekali tidak mengandung ganja, contohnya: sambal ganja (tidak mengandung ganja)

    Liked by 1 person

Give a comment