Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck – HAMKA [Book Review]

“Di belakang kita berdiri satu tugu yang bernama nasib, di sana telah tertulis rol yang akan kita jalani. Meskipun bagaimana kita mengelak dari ketentuan yang tersebut dalam nasib itu, tiadalah dapat, tetapi harus patuh kepada perintahnya.”

(Hamka, dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck)

Ini novel karya Buya Hamka yang pertama kali saya baca, boleh jadi sastra klasik yang saya nikmati perdana pula. Saya rasa novel ini sudah sedimikan terkenal, tersimpan di hati para pengagumnya, apalagi karena diunggah oleh sastrawan klasik sekaligus ulama sekaliber HAMKA. Jujur, ketika saya melihat salah satu list buku ini muncul di timeline facebook toko buku langganan saya, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” tergambar di pikiran sebagai novel perjalanan nan dramatis. Apatah lagi sempat terdengar di telinga tatkala membaca biografi Buya Hamka yang dituduh plagiat oleh Pramodya Ananta Toer terkait novelnya yang satu ini, hal itu membuat saya semakin penasaran. Saya merasa beruntung menemukan buku ini. Bayangkan, ditulis tahun 1939. Bagi saya, ini warisan sejarah!

Perlahan saya bukalah buku ini tatkala saya naik di atas pesawat menuju Banda Aceh sekitar dua minggu silam, berharap jadi kawan baik perjalanan saat itu. Rasanya tak mengapa saya bagikan sedikit kutipan yang ditulis Buya Hamka di pendahuluan kisah novel ini: “Di dalam usia 31 tahun (1938), masa darah muda cepat alirnya dalam diri, dan khayal serta sentimen masih memenuhi jiwa, di waktu itulah ‘Ilham’ Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ini mulai kususun dan dimuat berturut-turut dalam majalah yang kupimpin, Pedoman Masyarakat.” Membaca ini saja saya jadi tergugah. Betapa klasiknya!

Adapun kisah dalam novel ini, -maaf pabila menjadi sedikit spoiler-, adalah cerita yang jauh dari ekspektasi. Ini rupanya roman klasik, dan saya merasa bodoh dengan kedunguan saya karena baru tahu kalau buku ini sudah difilmkan (Tapi saya bersyukur belum menontonnya). Namun, karena sentimen awal saya yang kurang baik terhadap novel roman dan drama percintaan, saya tidak berusaha menikmati kisahnya sepenuh hati. Saya justru lebih tertarik dengan konflik adat istiadat Minangkabau yang diceritakan di awal novel ini. Tapi lama kelamaan, keindahan gubah dan syair yang tertulis dalam setiap kalimat Buya Hamka di buku ini meluluhkan hati saya. Roman yang dihadirkan novel ini sungguh jauh sangat berbeda dari drama-drama alay yang muncul di novel-novel kekinian saat ini (No offense). Ini adalah romansa realita dan sama sekali tak terkesan dibuat-buat.

Ketika saya membaca helai demi helai buku ini, saya berusaha berpikir secara objektif. Namun adalah sulit mengenyampingkan sisi subjektif di saat saya mulai beranjak ke halaman selanjutnya dan selanjutnya. Kisah ini indah sekali, hati saya luluh. Ini tentang fitrah kasih sayang yang dititipkan oleh Allah pada seorang pemuda yatim piatu kelahiran Mengkasar bernama Zainuddin, pemuda berdarah Minang dari ayah dan berdarah Bugis dari ibu. Dengan hati penuh harapan ia pergi ke kampung ayahnya di Padang Panjang namun apa yang diangankannya tidak terjadi. Ia dianggap orang asing. Adapun fitrah itu terpaut pada seorang perempuan Minang bernama Hayati, yang tak sengaja bertemu ketika berteduh kala hujan lebat. Berawal dari sebuah payung, lalu berlanjut pada surat-surat, kisah itu semakin dalam. Apatah lagi dikisahkan dengan bahasa Indonesia yang kaya dengan sastra, seperti kutipan surat pertama Zainuddin pada Hayati berikut ini: “Sahabatku Hayati, Gemetar Encik! Gemetar tanganku ketika mula-mula menulis surat ini. Hatiku memaksaku menulis, banyak yang terasa, tetapi setelah kucecahkan penaku ke dawat, hilang akalku, tak tentu dari mana harus kumulai.”

Sampai di situ, saya memang sempat merasakan kegelian. Ini terlalu romansa, batin saya malah berkata. Saya pun bingung, tak ada satupun ide cerita yang menyangkut paut dengan judul novel ini: Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Tapi justru itulah yang membuat saya semakin penasaran dan terus membaca kisah di novel ini yang konfliknya makin lama makin meruncing dan tragis. Saya mulai menikmati novel ini setelah halaman ke 150. Tatkala dikisahkan sesuatu yang boleh dikatakan kasih tak sampai, penolakan keluarga Hayati akan Zainuddin lantaran perbedaan adat, kedudukan dan ekonomi, serta penghianatan pahit yang dilakukan Hayati. Oleh sebab itu terjadilah perantauan itu. Pulau Jawa menyambut dengan segala takdir mencengangkan, luka yang dalam menjadikan Zainuddin malah termasyhur dengan karya-karyanya, sampai akhirnya mereka dipertemukan kembali.

Maka tersiarkanlah maksud nilai-nilai luhur yang terkandung dalam novel ini akan cinta yang suci, tentang kekerasaan dan keikhlasan hati, tentang sabar dan berani, tentang setia dan pengkhianatan, tentang cita-cita dan usaha, tentang dengki dan maaf, tentang harta dan wanita, tentang adat dan agama, hingga tentang takdir manusia. Satu kata yang bisa saya ucapkan ketika tahu Kapal Van der Wijck akhirnya diceritakan tenggelam di sepuluh halaman terakhir novel ini: innailllah, saya tak kuasa menahan tangis. Akhirnya saya tahu mengapa Buya Hamka memilihkan judul itu untuk novelnya. Unexpectable!

Buku ini bagi saya adalah buku terbaik bagi mereka yang masih berusaha dealing dengan novel roman dewasa namun tak ingin keluar dari koridor syariat. Saya belajar dari buku ini, bahwasanya roda terus berputar, dan perasaan laki-laki patut diperjuangkan.

Dari Tenggelamnya Kapal Van der Wijck saya juga menyadari bahwa Bahasa Indonesia bisa menjadi begitu indah dari biasanya. Buku ini membuktikan bahwa tulisan yang bernilai besar akan tetap terjaga meskipun pengarangnya telah tiada. Terkirim salam untuk Buya Hamka, semoga bahagia di alam sana. Recommended. 5 to 5.

Details:

  • Judul: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
  • Pengarang: Prof. Dr. Hamka
  • Penerbit: Gema Insani
  • Cetakan ke: 1, November 2017
  • Tebal: xii + 255 halaman
  • ISBN 978-602-250-420-7

One thought on “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck – HAMKA [Book Review]

  1. Ami

    Setuju, kekuatan roman ini ada pada dialog-dialog yang emosional dan menyentuh, bahasanya yang ‘tinggi’ dan puitis, setting yang dekat dan konflik yang relevan (tahun 30-an ternyata sudah ada pergaulan bebas dan gaya kebarat-baratan di Minangkabau) yang ditulis tanpa meninggalkan nilai-nilai agama. Meski roman ini kontroversial, sosok Buya Hamka mengagumkan karena … jarang-jarang ada ulama yang menghasilkan karya sastra, setidaknya di Indonesia 🙂

    Liked by 1 person

Give a comment