Kehujanan di Benteng Vredeburg dan Masjid Gedhe Kauman

Yup, masih di Jogja. Perjalanan saya berlanjut setelah usai mengunjungi Candi Prambanan. Waktu itu hari sudah siang, kaki saya juga lumayan letih jika harus dibawa berjalan kembali menuju Terminal Prambanan yang jaraknya 2 kilometer dari kompleks candi. Akhirnya, setelah keluar dari sana, saya mencoba menaiki becak dorong yang terparkir di persis dekat gerbang masuk. Awalnya saya ditawari harga Rp 25.000 sekali jalan, saya mencoba menawar kurang sampai Rp 10.000, wkwk. Jahat ya? πŸ˜‚Maafkan saya bapak-bapak. πŸ˜… Awalnya tidak ada yang mau mengantar, tetapi tiba-tiba seorang bapak mengajukan diri bersedia. Saya senang sekali. Hehe. Ini pengalaman pertama naik becak dorong dari Candi Prambanan. Tidak main-main, becak ini mengantarkan saya lintas propinsi lho, dari Jawa Tengah ke Yogyakarta. Hehe. πŸ˜‚

Sampai di terminal, saya kembali naik Trans-Jogja menuju Malioboro. Kali ini melewati rute yang lain, tapi Alhamdulillah, cuma sekali jalan. Selama naik Trans-Jogja, saya melewati jalan raya yang besar dan masuk ke pusat kota melewati simpang tugu Yogyakarta yang terkenal itu. Sayang, tak sempat saya abadikan di kamera, mengingat tugu itu hanya terlihat sepintas dari balik jendela.

Tak lama kemudian, saya pun tiba di Jalan Malioboro. Saya turun di halte dekat Masjid Malioboro dan menyempatkan diri shalat zuhur di sana. Saya tak sengaja kembali bertemu dengan si bapak yang curhat tadi subuh. Ketika saya turun dari bus, si Bapak langsung menawarkan bantuan, katanya kalau butuh kendaraan biar dia yang mencarikan. Karena segan, saya tersenyum menolak. Lagipula, saya juga berniat jalan kaki di sepanjang jalan ini.

Karena lapar, usai shalat zuhur dan jama’ ashar, saya melihat-lihat menu makanan yang tersedia di lapak-lapak kaki lima yang tersusun panjang di trotoar jalan Malioboro itu. Ketika melihat harganya, lumayan juga. Satu porsi makan dengan pecel ayam saja harganya bisa mencapai Rp 30.000,-, ngeri banget dah. Ini mah harga restoran mahal. Wkwk. Saya terus berjalan sampai menemukan sebuah warung bakso dan es campur yang harganya lebih murah, meskipun rasanya tidak senikmat yang saya harapkan. Sepertinya, makanan kaki lima di Malioboro tidak terlalu recommended, jika memang benar-benar pingin, harus lebih pandai memilih.

Usai mengisi perut, saya terus berjalan sampai ke ujung jalan Malioboro melewati Pasar Beringharjo. Nah, disini ada yang unik. Pada umumnya pedangang menjual makanan mereka di atas meja-meja, dan pelanggan bisa makan duduk di kursi-kursi kecil yang diletakkan di depan meja atau sekedar membeli lalu dibungkus dan dibawa pulang. Di sana tersedia berbagai macam menu makanan seperti gorengan, daging, jeroan, ayam, dan lain-lain yang bisa dinikmati dengan sepiring nasi putih dan juga aneka minuman segar. Karena baru tahu ada yang seperti ini, saya jadi menyesal makan bakso di tempat sebelumnya, hahaha. Secara, ini kan ngirit di kantong banget. πŸ˜‚

Ketika itu, langit mulai tampak sedikit mendung, membuat cuaca panas di Jogja terasa semakin pengap. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Tapi saya tidak terlalu peduli, ketika melewati sebuah tempat menarik di ujung jalan Malioboro sebelum persimpangan. Tempat itu bernama Vredeburg, atau lengkapnya Museum Benteng Vredeburg. Arsitekturnya jelas sekali menggambarkan bangunan peninggalan Belanda. Melewati jembatan mungil, saya memasuki area itu melalui pintu gerbang utama. Seperti apa ya di dalamnya?

Harga tiket masuk ke dalam museum sangat murah, hanya Rp 2.000,- per orang. Saya membeli tiket tepat di gerbang masuk, dan langsung diperkenankan mengunjungi seluruh tempat di area ini.

Museum Benteng Bredeburg adalah sebuah benteng yang letaknya persis di depan Gedung Agung Yogyakarta. Dulu, benteng ini dibangun sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan residen Belanda kala itu. Dari sejarahnya, benteng ini dibangun tahun 1767 karena dilatarbelakangi rasa kekhawatiran pihak Belanda terhadap kemajuan Kraton Yogyakarta yang didirikan oleh Sultan Hamengkubuwono I waktu itu. Belanda berdalih, pembangunan benteng ini agar mereka dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya, akan tetapi maksud sesungguhnya adalah untuk memudahkan Belanda mengontrol segala perkembangan yang terjadi di kraton. Letaknya yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton, mengindikasikan benteng ini sejatinya hanyalah intrik Belanda untuk mengintimidasi Sultan kalau sewaktu-waktu memalingkan muka dari Belanda.

Kini, benteng peninggalan Belanda ini sudah berubah fungsi menjadi museum. Nah, sewaktu saya masuk ke dalam museum ini, saya langsung disambut oleh sebuah pelataran luas yang dikelilingi oleh gedung-gedung utama. Di tengah-tengah pelataran itu terdapat replika tugu Jogja, meriam-meriam peninggalan Belanda, dan dilengkapi denah dan papan petunjuk museum. Hawa historis memang terasa sekali di tempat ini.

Pertama kali berkunjung, tanpa serius memperhatikan denah, saya langsung memilih masuk ke gedung sebelah kiri, yaitu gedung diorama 2 yang menggambarkan peristiwa sejarah Proklamasi Kemerdekaan sampai dengan Agresi Militer Belanda di Indonesia. Di sana kita bisa menemukan banyak sekali diorama dan patung-patung replika yang menggambarkan peristiwa bersejarah yang terjadi di Yogyakarta dan penggambaran tokoh-tokoh penting yang berperan besar selama perjuangan itu, beberapa di antaranya adalah sosok bapak Proklamator Indonesia yaitu Ir.Soekarno, Drs.Moh.Hatta, dan juga tokoh-tokoh perjuangan lainnya seperti Jendral Soedirman, dokter Sardjito, Adi Sucipto, dan lain-lain. Setelah berjalan menelusuri gedung tersebut, kita kemudian akan sampai ke gedung diorama 3 yang menggambarkan peristiwa sejak perjanjian Renville sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat.

Berjalan keluar gedung, saya kemudian melihat-lihat taman pelataran replika tugu Jogja dan nuansa tokoh pahlawan Jendral Sudirman. Ketika melihat langit, awan hitam tampak semakin mengepul, lalu angin tiba-tiba jadi kencang dan hujan deras pun akhirnya turun tak lama setelah itu. Saya pun akhirnya lanjut ke gedung diorama 1. Di sana kita akan disuguhi kronologis sejarah Yogyakarta sejak masa Pangeran Diponegoro sampai pendudukan Jepang. Suasananya juga tak jauh berbeda dengan gedung diorama sebelumnya, yang sudah tertata dengan rapi lengkap dengan tempat duduk untuk bersantai. Selama melihat-lihat, saya menemukan cukup banyak peninggalan sejarah di sana, membuat saya ikut dalam cerita masa lalu.

Puas berkeliling, ketika beranjak keluar gedung itu, saya mendapati hujan yang kini turun demikian lebat disertai petir dan angin kencang. Pergi kemana-mana rasanya tidak mungkin dalam cuaca seperti ini. Suhu udara yang tadinya agak panas kini perlahan menjadi dingin, membuat saya menggigil. Karena kaki juga yang sudah lelah berjalan, akhirnya saya terduduk di teras gedung sambil bermenung dan bersedekap. Beberapa hari ini saya tersadar sudah berjalan cukup jauh. Rupanya, saya sudah sampai di Jogja.

Beruntung, 30 menit kemudian hujan yang sedimikian deras sudah mulai mereda meskipun tak sepenuhnya berhenti. Hujan rintik-rintik masih setia menemani langit Jogja yang gelap di sore hari waktu Ashar. Usai melihat-lihat Google Maps, saya kemudian memutuskan beranjak menempuh gerimis sambil berjalan kaki ke Alun-alun utama di depan istana keraton Yogyakarta. Tujuan utama saya bukanlah keraton melainkan Masjid Gedhe Kauman yang terletak di sisi barat alun-alun. Meski sudah menjama’ shalat Ashar di Masjid Malioboro, saya ingin sekali melihat masjid ini dari dekat. Selain bangunannya yang unik, masjid ini juga menyimpan sejarah yang panjang.

Dari benteng Vredenburg, saya menyeberang di simpang Kantor Pos Yogyakarta yang fisiknya masih meninggalkan arsitektur Belanda, sampai di jalan utama menuju alun-alun keraton. Berbelok ke kanan menelusuri trotoar, saya terus menelusuri jalan hingga sampai di sebuah jalan kecil di sisi barat, gerbang masuk Masjid Gedhe Kauman. Masjid itu terletak di belakang rumah-rumah yang berdiri di sisi kiri dan kanan jalan kecil itu, dan ketika melewatinya, saya akhirnya sampai di pelataran masjid yang sungguh legendaris. Sebuah gerbang berlogo khas keraton pertama kali datang menyambut. Ketika masuk, saya kemudian disuguhi bangunan yang sangat tradisional. Arsitekturnya benar-benar khas Yogyakarta, tanpa kubah dan minaret, melainkan sebuah bangunan adat Jawa dengan atap bersusun tiga dan teras yang luas di bawah tiang-tiang panjang. Saya benar-benar terkesan.

Usai duduk sejenak melepas sepatu di serambi terasnya yang sedang ramai dipenuhi oleh masyarakat yang duduk bercengkrama, saya melangkah masuk ke dalam masjid. Suasananya adem sekali. Pertama kali melangkah masuk, karpetnya yang lembut langsung menyapa. Melihat ke depan, terdapat mihrab di tengah-tengah, mimbar bertingkat tiga di sisi kanan dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura, yang dulunya dijadikan tempat khusus bagi sultan untuk shalat. Langit-langitnya tinggi menjulang di tengah-tengah dengan hiasan lampu-lampu yang cantik. Namun, ada yang unik di dalam masjid ini, yaitu arah kiblatnya yang tidak persis lurus ke arah dinding mihrab.

Bagi yang pernah membaca kisah KH.Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, mungkin kita bisa tahu kalau dulunya beliau sempat berselisih dengan para Kiai di Kauman terkait masalah arah kiblat ini. KH Ahmad Dahlan dulu pernah belajar dengan Syech Khatib Al-Minangkabawi yang ketika itu menjadi imam besar Masjidil Haram di Makkah. Beliau banyak belajar tentang ilmu agama termasuk ilmu falaq. Sepulang berhaji di usia yang masih tergolong muda, beliau kemudian mengusulkan pembetulan arah kiblat. Namun karena dipengaruhi oleh faktor tradisi turun temurun, banyak kiyai yang tidak sepaham dengan beliau hingga beliau dimusuhi. Tapi pada akhirnya, para kiyai itu mampu menerima. Mungkinkah arah kiblat yang sekarang itu menjadi saksi sejarah perjuangan KH Dahlan dulu? Wallahu’alam. Hehe.

Akhirnya, sore itu saya kembali termenung di serambi Masjid Gedhe sambil menatap langit yang semakin gelap dikepung awan hitam. Hujan juga turun kembali deras seperti sebelumnya dan tak kunjung menunjukkan tanda akan berhenti. Dalam hati saya berdoa semoga hujan ini segera reda, jika tidak, mau tidak mau saya akan menempuhnya menuju tempat penginapan. Saya teringat kalau tadi pagi saya menitip ransel di sana, dan sampai saat ini saya belum juga check in. Mudah-mudahan tidak ada masalah.

Syukur alhamdulillah, pukul 5 sore, hujan mulai sedikit reda menyisakan gerimis. Saya akhirnya bisa keluar dari masjid meskipun basah-basahan. Sambil berjalan kaki melewati perkampungan Kauman yang rapat, melangkahkan kaki di trotoar Jalan KH Ahmad Dahlan, saya lalu tiba di sebuah halte Trans Jogja dan berniat untuk check in di penginapan. Tapi rupanya, saya harus menunggu bus itu lebih dari satu jam. Bus itu tidak lagi banyak beroperasi di sore hari seperti ini, dan terpaksa saya harus berdiri berdesak-desakan dengan penumpang yang ramai di dalam bus dan kesulitan untuk turun di halte dekat stasiun Yogyakarta. Magrib juga sudah menjelang, langit pun menjadi gelap, tapi saya masih berjalan kaki di tengah hujan yang sudah kembali lebat. Tapi tak mengapa, pengalaman itu rasanya sungguh berkesan.

Sampai saya tiba di hotel, mengambil kembali ransel saya dan masuk ke dalam kamar, rasanya hujan lebat di luar sana menjadi suasana nikmat tersendiri untuk memejamkan mata di atas kasur yang empuk. Usai shalat, mandi dan berkemas, saya kemudian merebahkan diri di kasur sambil mengusir rasa lelah. Masih ada satu hari lagi tersisa di Jogja, berharap semoga hari esok jauh lebih baik. Petualangan masih akan terus berlanjut, menuju tempat-tempat baru yang belum pernah saya tapaki seumur hidup.

#to be continued in #backpackerstories, InsyaAllah.

2 thoughts on “Kehujanan di Benteng Vredeburg dan Masjid Gedhe Kauman

Give a comment