Shalat Jum’at di Masjid Agung Jawa Tengah, Awal Jumpa Semarang

Akhirnya, Semarang, saya datang! Pagi itu saya semangat sekali. Terbangun di kamar hotel, beres-beres dan sudah wangi, lalu baju di laundry juga sudah disetrika dan digulung rapi di dalam ransel, saya pun siap berangkat. Sekotak bakpia yang saya beli di Malioboro beberapa waktu lalu juga sudah ludes. Usai sarapan dengan roti sobek dan segelas air teh hangat yang disediakan petugas hotel, saya pun mulai melangkah. Next destination, Semarang City!

Hari itu hari Jum’at, saya berencana shalat di Masjid Agung Jawa Tengah yang sudah cukup terkenal. Saya yakin pengalaman shalat Jumat di sana akan berbeda dan berkesan. Oleh karena itu, pagi-pagi pukul 7.30 saya sudah tiba di terminal Jombor Jogja. Naik bus bisnis AC di sana, berangkat pukul 8, saya tiba di Semarang sekitar 3 jam perjalanan. Ongkosnya Rp 30.000,-. Bus yang saya naiki Alhamdulillah nyaman, dan saya benar-benar menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan. Melewati Magelang, Ambarawa, Ungaran, lalu masuk jalan tol, saya akhirnya melihat pemandangan sebuah kota pelabuhan besar yang menghadap Laut Jawa. Ini dia kota Semarang! Bus itu pun kemudian berhenti di terminal Terboyo, terminal di sisi paling timur kota Semarang.

Ketika tiba di terminal, kesan pertama saya, Wah, terminal di tepi Laut! Bus-bus yang terparkir di halaman terminal masyaAllah ramai sekali. Tapi, ah, terminalnya sayang kurang bersih. Hm, atau mungkin lebih tepatnya, kurang terawat. Genangan air dimana-mana, seperti bekas banjir rob. Aspalnya juga banyak yang bolong-bolong, mungkin karena keseringan banjir. Ketika turun, ah, bau amis! Hm, mungkin bau amisnya berasal dari laut, atau mungkin dari ikan-ikan yang ditangkap oleh nelayan di tepi laut? Saya tidak tahu. Intinya, saya tidak tahu mau berkata apakah suka atau tidak dengan terminal ini.

Usai turun dari bus, seperti biasa, tidak di mana-mana, orang-orang datang berkerumun menawarkan jasa tumpangan mereka. Tapi, saya kira orang Semarang di sini agak lebih sopan dan tidak terlalu memaksa. Sempat singgah sebentar di toilet, saya kemudian ditunjukkan jalan oleh seorang bapak-bapak penjual makanan ringan yang ada di sana.

“Kalau mau ke Masjid Agung, Mas sebaiknya naik Trans Semarang saja,” kata si Bapak, “Loket busnya ada di sebelah sana Mas,” lanjut beliau sambil menunjuk ke arah loket yang berada paling ujung. Saya tidak bisa tidak mengucapkan terima kasih. Orang Semarang ternyata ramah-ramah.

Akhirnya, saya naik Trans Semarang. Busnya ber-AC, bersih dan masih baru. Tapi, rutenya cukup rumit, beberapa kali saya mesti bertanya ke petugas untuk memastikan kalau bus yang saya naiki tidak salah. Syukurlah, mbak-mbak petugasnya juga ramah, saya jadi lega. Tak lama kemudian saya memasuki pusat kota, saya benar-benar menikmati suasananya. Saya kemudian menyambung Trans Semarang jurusan lain untuk pergi ke Masjid Agung. Tapi, sayang sekali bus itu tidak mengantar saya tepat sampai tujuan. Halte terdekat berjarak sekitar 4 kilometer dari masjid, sementara saya melihat waktu shalat hampir masuk. Tak mau pikir panjang, saya kemudian memesan ojek online. Alhamdulillah, di sini ada gojek. 🙂

Babang ojek akhirnya mengantar saya ke depan pintu gerbang Masjid Agung Jawa Tengah tepat waktu ketika azan mulai berkumandang. Suaranya mendayu-dayu membuat saya terharu, tak menyangka bisa shalat Jum’at di Semarang. Saya pun bergegas masuk, berjalan mengitari pelataran masjid yang luar biasa luasnya. Masjid itu sendiri terlihat sangat megah. Saya tidak sabar masuk ke dalam.

1 Masjid Agung Jawa Tengah

Karena saking luasnya area masjid ini, saya harus menitip sendal melalui petugas yang berada di bangunan sisi kanan masjid, lalu berjalan masuk ke ruangan tempat berwudu’, lalu menelusuri koridor panjang, melewati beberapa ruangan besar, lalu naik tangga ke lantai atas, sampai akhirnya karpet sajadah yang lembut itu menyapa telapak kaki saya. Saya lihat jama’ah sudah ramai, dan khatib sudah mulai berkhutbah. Meski sedikit terlambat, saya sangat bersyukur masih kebagian tempat duduk di dalam bangunan utama masjid, sementara banyak jama’ah yang lain yang terpaksa duduk di luar ruangan utama.

Di sini khatib berkhutbah di atas mimbar khusus yang berada di sisi kanan mihrab tempat imam shalat. Karena masjid ini luas sekali, beberapa sudut tiang masjid dilengkapi dengan layar monitor yang menayangkan suasana mimbar tempat khatib mencapaikan khutbahnya. Alhamdulillah, shalat Jum’at saat itu berkesan sekali.

2 Suasana Usai Shalat Jum’at

Usai shalat, barulah saya mengeksplor keindahan masjid ini. Saya sangat terpikat dengan desain bangunannya yang mengadopsi gaya Jawa dan Arab. Gaya Jawa terlihat jelas dari struktur tanjungan di bawah kubah utama. Kubah utama itu sendiri mengadopsi arsitektur Arab, yang ukurannya besar sekali di tengah-tengah. Ketika melihat dari dalam, bundaran kubah itu telihat megah dengan ukiran kaligrafi Arab. Sebuah lampu hias berbentuk lingkaran dengan tali-tali penggantung membuat saya merasa sedang masuk ke masjid-masjid di Turki. Bagus ya?

3 Kubah Utama Masjid dilihat dari dalam

Sambil melihat-lihat interior masjid, yang paling saya suka adalah bagian mihrabnya. Ukiran kayu ala Jawa yang sebagian besar menghiasi tempat itu, lalu kaligrafi ayat-ayat suci al-Qur’an, ditambah dengan penerangan berbentuk pelana kuda di tengah-tengahnya membuat nuansa mistis tersendiri bagi saya.

4 Mihrab Masjid

5 Pemandangan yang terlihat dari arah Mihrab

Namun, satu hal yang unik di tempat ini adalah terdapatnya sebuah mushaf Al-Qur’an raksasa yang berada tak jauh dari pintu masuk utama. Dari informasi yang tertulis di sana, mushaf ini disebut Mushaf Akbar, ditulis oleh Drs. Hayat dari Universitas Sains Al-Qur’an (Unsiq) Wonosobo Jawa Tengah. Mushaf ini ditutupi oleh kaca pelindung besar, dibiarkan terbuka di atas meja tilawah dan bertengger di samping peti kayu berukiran Jawa dan kaligrafi Arab. Saya sendiri baru pertama kali melihat mushaf Al-Qur’an sebesar ini.

6 Mushaf Akbar yang dipamerkan di Masjid Agung

Puas berkeliling di dalam sampai menginjak lantai dua, saya kini beranjak ke luar masjid melewati pelataran terbuka yang benar-benar luas. Yang khas di sini adalah adanya payung-payung raksasa yang ikonik banget. Payung ini berjumlah enam buah, diadopsi dari desain Masjid Nabawi Madinah. Dari yang saya ketahui, payung itu lumayan jarang dibuka selain saat iven-iven yang menghadirkan jamaah yang besar. Selain itu, untuk membukanya membutuhkan listrik yang besar guna menggerakkan hidroliknya, ditambah lagi dipengaruhi oleh faktor cuaca.

Desain arsitektur Masjid rupanya tidak hanya mengadopsi gaya Arab dan Jawa, tapi juga Yunani. Hal ini terlihat dari 25 buah pilar-pilar kolosium yang berdiri di depan halaman masjid yang lantainya pun indah dengan keramik. Pilar-pilar itu dipadu dengan kaligrafi yang indah dengan kombinasi warna ungu, krim, dan emas. Sekilas juga mirip gaya Gothic kalau melihat perpaduan warna ungu dan krim yang belang-belang itu, atau bagi saya mirip juga dengan masjid-masjid di Kordoba Spanyol. Hm. Bagus banget.

7 Pemandangan masjid dari salah satu latar pilar-pilar koloseum. Kombinasi tiga gaya arsitektur. Pilar-pilar Koloseum menggambarkan gaya Yunani, Kubah dan menara melukiskan gaya Arab Timur Tengah, dan atap Tanjungan menggambarkan arsitektur Jawa.

Mengenai sejarah pembangunannya, masjid ini dibangun atas latar belakang kembalinya tanah wakaf Masjid Besar Kauman Semarang ke tangan masyarakat. Masjid ini kemudian mulai digagas tanggal 6 Juni 2001 dengan dibentuknya Tim Koordinasi Pembangunan Masjid dibawah koordinasi Gubernur Jateng dan jajaran pemerintahan bersama MUI, ormas Islam dan masyarakat. Pembangunannya ternyata memakan waktu cukup lama, mulai dari 6 September 2002 dan akhirnya diresmikan oleh Presiden SBY pada tanggal 14 November 2006.

8 Monumen Pembangunan Masjid

9 Akhirnya sampai di Masjid Agung

Tapi itu saja belum cukup, masih ada sebuah tempat di masjid ini yang layak untuk dikunjungi, yaitu menaranya yang tinggi. Usai menyantap sepiring bakso dari abang-abang yang jualan di dekat tempat parkir masjid yang berada tepat di bawah pelataran masjid yang luas itu, saya berniat untuk naik ke puncak menara. Menara itu berada tak jauh dari pelataran masjid dan menjulang setinggi 30 meter. Saya pun tak sabar menaikinya dari sebuah lift khusus persis di bangunan dasar menara. Di sana ada sebuah loket untuk membeli tiket masuk menaiki lift seharga Rp 7000,-. Dengan harga yang terjangkau, kita bisa melihat pemandangan masjid dan seantero kota dari atas menara ini dengan leluasa. Benar-benar membuat saya penasaran.

10 Menara Masjid Agung Jawa Tengah

11 Tiket Masuk Menara

Sampai di puncak menara, masya Allah, pemandangan di sini sungguh luar biasa. Kita bisa melihat masjid lebih jelas, pemandangan Kota Semarang yang luas, bersanding dengan lautan lepas di sisi sebelah utara. Di sini juga dilengkapi dengan teropong untuk melihat lebih dekat, tapi sepertinya kita membutuhkan koin untuk menggunakannya. Saya sendiri tidak tahu bagaimana cara memakainya, ketika mencoba melihat, hanya terlihat gelap. Ckck. Selain itu yang paling dahsyat di sini adalah hembusan anginnya yang kencang, membuat pagar-pagar besi tiu bergetar. Satu kata, amazing!

12 Teropong di atas menara Masjid

13 Kira-kira gimana ya memakainya?

14 Pemandangan spektakuler dari atas menara

15 Ekspresi saya melawan arus angin yang super kencang, jidat saya makin jelas, wkwk

Alhamdulillah, sambutan kota Semarang hari itu sungguh luar biasa buat saya. Namun sayang sekali, kota yang luas ini harus saya eksplor hanya dalam satu hari itu saja. Malam hari itu pula saya harus segera naik kereta ke Surabaya, mengingat tiket pesawat ke Bali dari bandara Juanda yang sudah saya pesan ketika di Jogja. Tapi yang jelas, saya tidak akan melewatkan tempat terbaik di kota ini selagi saya masih menginjakkan kaki di sana. Beberapa tempat sudah saya tandai dan saya tak sabar untuk segera melihatnya dari dekat. Saya yakin perjalanan ini akan semakin menarik!

#to be continued in #BackpacerStories insya Allah.

Give a comment