Kaca-Kaca di Pelupuk Mata, Dibalik Jihad Sang Ibunda

Wajah itu penuh dengan rintihan, keringatnya bercucuran. Air matanya tumpah membasahi helaian kain di atas dipan. Saat itu seorang calon ibu tengah berjuang, berjihad, melahirkan seorang penghuni bumi yang baru akan datang. Ia melarat, menahan sakit alang kepalang-yang tak dapat dideskripisikan dan tak kan pernah dialami oleh seorang lelaki, rasa sakit yang teramat sangat saat melahirkan sang cabang bayi semata wayang. Namun ketika sang bayi telah lahir, wajahnya yang kesakitan berubah menjadi sebuah cahaya kebahagiaan. Itulah ia, sang ibunda.

“Siapa yang kalian anggap sebagai syahid?” Mereka menjawab, “Yang berperang hingga terbunuh di jalan Allah Swt.” Mendengar jawaban tersebut beliau bersabda, “Kalau begitu orang yang syahid di antara umatku sedikit. Namun, orang yang terbunuh di jalan Allah syahid, orang yang mati karena penyakit di perut syahid, orang yang kena wabah penyakit syahid, wanita yang meninggal dunia sementara dalam perutnya terdapat janin juga syahid (entah sebelum atau sesudah melahirkan).” (HR Imam Ahmad, Ibn Majah, dan Ibn Hibban).

Saat koas di Obgyn, -alhamdulillah sudah sampai di siklus ini, siklus ketiga koas-, aku melihat perjuangan beliau, perjuangan seorang ibu. Ketika belajar melakukan asuhan persalinan normal (APN), sembari mencari bekal untuk nanti mampu memimpin persalinan normal -amin-, entah berapa kali kedua mataku sempat berkaca-kaca menyaksikan kejadian itu. Proses persalinan -yang dalam istilah medis dikenal dengan “partus”-, mengingatkanku pada ibu. Ia yang telah memberiku nama yang indah untukku, -syandrez- , nama yang sempat tersebut ketika massa orientasi di koass obgyn, yang berarti -sunrise 🙂 – pernah mengalami hal serupa. Sungguh jika ku melihatnya, aku seakan tidak tega.

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al Isra: 24)

Andainya aku tak berbakti kepada ibu, setelah melihat kejadian itu, sungguh aku adalah anak yang teramat sangat durhaka. Seorang ibu, dengan ikhlas merawatku dalam kandungannya selama 9 bulan, dengan ikhlas dan dengan segenap tenaga yang dimilikinya untuk melahirkan aku ke dunia, dengan ikhlas dan dengan penuh cinta membesarakan, merawat, mendidik dan mengajarkanku tentang kehidupan, maka tak ada sedikitpun dan setitikpun keburukan yang pantas ku berikan untukknya. Astaghfirullah.

“Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dengan menanggung kelemahan demi kelemahan (dari awal mengandung hingga akhir menyusuinya), dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14)

Mungkin aku bukanlah anak yang baik untuknya, mungkin pernah lidah ini berucap tidak baik padanya, mungkin pernah badan ini menyakiti hatinya, mungkin pernah aku durhaka kepadanya. Namun dari segenap yang ada pada dirinya, tak ada satupun bentuk kebencian seorang ibu kepada anaknya. Ia tak pernah berbuat jahat padaku, ia tak pernah berniat hal yang buruk sedikitpun padaku, maka apakah aku, kita, sebagai anak dari ibu-ibu kita, pantas menyakitinya. Itu yang ku pikirkan saat itu. Masya Allah. Astaghfirullah.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al Isra: 23)

Demikianlah ibu kita, sebuah pelajaran berharga yang kudapat saat koas di obgyn. Betapa tingginya perjuangan seorang ibu. Maka sewajarnya lah segala kebaikan kita perlakukan untuknya.

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir berkata, telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Bahz bin hakim dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang paling aku perlakukan dengan baik?” beliau menjawab: “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian bapakmu, kemudian yang terdekat, kemudian yang terdekat.” (HR. Abu Dawud Tirmidzi)

Maka mata itupun berkaca-kaca dibalik jihad sang ibunda.

Source: muslimvillage.com
Source: muslimvillage.com

LOVE YOUR MOTHER

Give a comment