Keliling Surabaya: Monumen Suro dan Boyo, Taman Bungkul, Masjid Cheng Ho, dan Soto Surabaya

Perjalanan saya di Surabaya kembali berlanjut di siang itu. Usai mengunjungi Museum Sampoerna, saya kemudian berniat pergi melihat kebun binatang di kota Surabaya yang katanya bagus sekali. Saya lihat di Google Maps, kebun binatang itu lokasinya juga berdekatan dengan ikon legendaris kota Surabaya yakni Patung “Suro” dan “Boyo”. Karena memang rasanya belum afdol datang ke Surabaya tanpa mengunjungi monumen buaya dan hiu yang berlaga itu, saya akhirnya memantapkan diri untuk pergi ke sana.

Setelah mencari tahu bagaimana cara pergi ke kebun binatang, baik dari hasil selancar di internet dan bertanya ke beberapa orang, saya akhirnya tahu kalau tempat itu berjarak sekitar 10 kilometer dari posisi saya sekarang di museum. Saya kemudian naik ojek dulu, (kalau tidak salah ingat turun di sekitaran Jembatan Merah Plaza), lalu menyambung naik angkot. Saya membutuhkan waktu sekitar dua jam lebih untuk bisa sampai ke kebun binatang dengan angkot ini, karena awalnya saya harus sabar menunggu angkot ngetem dulu di pinggir jalan, lalu muter-muter ke trayeknya, dan parahnya harus sabar mengikuti arus lalu lintas pusat kota yang super duper macet.

Bisa dibayangkan, jarak yang hanya sepuluh kilometer harus ditempuh dalam waktu dua jam menggunakan angkot. Luar biasa. Itupun saya disuruh supir angkotnya untuk turun di tengah jalan raya yang macet total karena angkotnya tidak bisa lagi bergerak, lalu berjalan kaki sekitar satu kilometer lagi hingga benar-benar sampai di kebun binatang. Saya juga harus menantang kondisi saat itu yang benar-benar panas, pengap, dan polusi kendaraan dimana-mana. Tapi Alhamdulillah, mungkin karena tujuan saya keliling Surabaya memang ingin merasakan suasana natural tempat ini, saya malah menikmatinya.

Akhirnya, saya benar-benar senang ketika melihat patung Suro dan Boyo yang terkenal itu tepat di depan mata kepala saya. Orang-orang di sana ramai minta ampun, sebagian besar sedang berfoto dengan latar patung itu.

Di sisi lain, orang-orang juga ramai antri masuk ke dalam kebun binatang. Karena mengingat waktu yang terbatas, saya cukup melihat-lihat suasana saja tanpa ikut mengantri masuk. Bagi saya, melihat patung Suro dan Boyo ini saja sudah membahagiakan.

Puas melihat suasana di Monumen Suro Boyo, saya kemudian berniat melanjutkan perjalanan ke spot lainnya yang berada tidak jauh dari kebun binatang. Pilihan saya kemudian tertuju ke Taman Bungkul, yang katanya pernah menyabet penghargaan dari PBB sebagai taman kota terbaik se-Asia pada tahun 2013. Worth it banget kan? Saya jadi penasaran.

Saya lalu pergi ke Taman Bungkul menggunakan jasa ojek online, kapok setelah naik angkot. Setiba di sana, saya disuguhkan pemandangan taman yang benar-benar hijau dan ramah pejalan kaki. Beberapa spot juga dilengkapi wahana bermain anak-anak yang gratis dinikmati siapa saja, lengkap dengan beberapa kolam air mancur yang mengubah suasana panas Surabaya menjadi benar-benar sejuk dan adem. Bunga-bunga di sana juga indah, wajar saja kenapa saat itu banyak sekali masyarakat Surabaya yang menghabiskan waktu siang mereka di tempat ini.

Puas berkeliling di taman, saya kemudian ingin istirahat sejenak di masjid sambil shalat Dzuhur dan Ashar. Saya akhirnya memilih masjid Cheng Ho yang menyimpan rahasia perjalanan Laksamana Cheng Ho dalam misi pelayarannya dan sekaligus menyebarkan Islam di Indonesia. Lagi-lagi naik ojek, saya tiba di masjid berasitektur Tioghoa itu dalam waktu sekitar 20 menit.

Masjid Cheng Ho berukuran kecil untuk sebuah masjid, hanya 11 x 11 meter, terinspirasi dari ukuran Ka’bah, namun entah mengapa masjid ini terkesan megah bagi saya. Tidak seperti masjid pada umumnya, atap Masjid Cheng Ho benar-benar berupa atap bangunan adat orang Tionghoa yang khas itu. Mengingat bentuknya yang unik, saya jadi penasaran tentang bagaimana sejarah masjid ini bermula, yakni tidak terlepas dari penghormatan untuk sosok Laksamana Cheng Ho itu sendiri.

Sejarah mencatat, pelayar muslim legendaris dari negeri Cina itu pernah datang ke Nusantara sebanyak 7 kali ekspedisi antara tahun 1405-1433. Misi pelayarannya yang menyebarkan kedamaian Islam membuatnya diterima dengan hangat oleh rakyat Nusantara ketika itu. Ia pernah mengunjungi Aceh, Palembang, dan beberapa tempat di Pulau Jawa. Berbeda dengan pendatang asing yang datang dengan niat untuk penaklukan, Cheng Ho justru selalu menghormati wilayah yang dikunjunginya.

Selain itu, di lingkungan masjid Cheng Ho ini juga terdapat beberapa tulisan di dinding berkeramik yang terdiri dari aksara mandarin, dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Ketika membaca tulisan itu, saya bisa menangkap semangat tauhid yang hadir di masjid ini.

Alhamdulillah, perjalanan singkat di Masjid Cheng Ho ini membuat saya semakin adem. Saya bisa menunaikan shalat di sana dengan nyaman bersama pengunjung lainnya, lalu berkeliling-keliling sebentar di area masjid. Barulah setelah puas, mengingat perut juga lapar, saya ingin mencari makan siang dulu. Waktunya berburu kuliner Surabaya.

Pilihan saya kemudian jatuh ke Soto Cak Har di Mall ITC Surabaya setelah mendapat rekomendasi dari seorang sahabat. Ketika sampai di Mall itu, saya mendapati keramaian yang luar biasa. Sempat masuk ke dalam Mall sebentar, saya jadi kebigungan mencari lokasi soto itu, sampai akhirnya saya memutuskan untuk makan soto Surabaya lainnya yang berada di kios kaki lima yang berada di depan Mall.

Tempat sederhana yang beratapkan plastik itu ternyata juga ramai, tapi setelah menyicipi kelezatan Soto bikinan sepasang suami istri yang berjualan di tempat itu, saya angkat jempol. Apalagi ditemani teh es yang melepaskan segala dahaga di kerongkongan setelah berjalan jauh mengeliligi Surabaya di siang yang panas itu, ah segar sekali. Keringat saya yang mengucur bulat-bulat kemudian dibuat adem oleh dinginnya teh es. Bahagia.

Alhamdulillah sekali lagi, perjalanan singkat di hari itu membuat saya memiliki pengalaman baru di Surabaya. Saya bersyukur sekali bisa sampai di kota ini, merasakan aura dan suasana kehidupan masyarakatnya yang beragam. Tapi, masih ada beberapa jam sebelum pesawat ke Bali akan mengudara. Karena masih penasaran dengan pelabuhan Tanjung Perak, saya berniat kembali lagi ke sana sebelum berangkat ke bandara Juanda. Siapa tahu kali ini saya beruntung. 🙂

#to be continued in #backpackerstory insyaAllah.

2 thoughts on “Keliling Surabaya: Monumen Suro dan Boyo, Taman Bungkul, Masjid Cheng Ho, dan Soto Surabaya

Give a comment