Lelaki, Sepeda, dan Payung

Musim hujan telah tiba. Sembari mengucap hai selamat datang pada rintik-rintik air dari langit ini sambil membujuk agar gak bikin banjir, saat itu pula payung yang terlipat dengan bagusnya di dalam tas yang ku bawa setiap hari mulai berfungsi. Ya lah, sedia payung sebelum hujan, meski kemaren-kemaren ini musim panas. Kalau biasanya cewek make payung kalau lagi panas, cowok gak mesti lah. Ngapain. hahaha, cukup pake jaket kupluk buat menghindari sengatan ultraviolet di Padang yang ganas ini.

Masih dengan sepeda yang sungguh setia ini, jika teringat jasa-jasanya menemaniku semenjak ku duduk di bangku MTsN dulu, sampai sekarang siapa menyangka sepeda ini akan tetap membawaku menuju kampus kedokteran. Sambil bersepeda itulah hujan kadang menyapaku. Akhirnya payungku bicara. Warnanya biru. *Aku mencintai warna biru, tanpa alasan. Dengan kerennya payung itu ku pegang dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku memegang pegangan sepedaku yang juga berwarna biru. ckck. Ku tetap menggayuh sepeda ditemani hujan yang sejak tadi ingin mengajakku bicara. Kadang, hujan itu sangat cerewet.

Kebiasaan ini sudah kujalani semenjak dua tahun yang lalu, sejak sepedaku mendarat di kota ini. Namun, tak sedikit komentar telah ku terima saat aku beraksi dengan payung dan sepedaku itu. Terkadang ada sesi dimana sepedaku tidak menemani payung di tangan kananku, aku cuek saja. Sepertinya ada paradigma yang melekat di ranah ini tentang payung yang ku pegang itu.

Apakah seorang lelaki kehilangan kelelakiannya saat memegang payung? Hahaha. Pertanyaan konyol. Betapa tidak, sepertinya paradigma itu tidak bisa dipungkiri sudah ada sejak dulu di ranah ini. Meskipun ada getaran di dada *halah, saat seorang laki melintasi negeri dengan payung di tangan, seolah-olah lakinya berubah jadi kemayu. Temen aku bilang, “lelaki sejati itu lebih baik basah kuyup daripada pake payung!”  *Sepertinya gw harus bilang wow sambil koprol.

Hm, aku melihatnya dari sisi yang berbeda. Di satu sisi memang paradigma seperti itu membuatku tidak nyaman. Di satu sisi, yang ku ingin hanyalah fungsi dari payung itu. Cuman itu. Berfikir lebih rasional dan idealis kadang lebih baik daripada mengedepankan prinsip kegengsian. ckck. Wong di luar sana biasa aja.

Haha. Masalah sepele, tapi bisa serius buat para lelaki. hhaha

3 thoughts on “Lelaki, Sepeda, dan Payung

  1. aminocte

    iya ya? wong di luar (jepang misalnya) biasa aja seorang laki-laki make payung, di sini, laki-laki lebih baik basah daripada berpayung (biar terlihat macho, ‘kah? :D)
    padahal, kalau basah kuyup, trus sakit, dia juga yang repot

    setuju itu mah, kalau dalam hal ini, lebih baik lihat risk-benefit. risiko berpayung apa? nggak ada. keuntungannya? banyak! ya udah, mending pake payung daripada nggak 😀

    postingan ini mengingatkan ami tentang cerita ayah dan anak yang mengendarai keledai, trus diketawain orang, dan pada akhirnya mereka rugi sendiri karena ngikutin kata orang (endingnya mereka memikul keledai itu kalau nggak salah)

    Like

    • sandurezu

      haha..
      tentang cerita ayah dan anak..
      an rasa msh ingat

      karena tubuh keledai yang mungil, hanya satu org yg bisa menunggangi keledai.
      pertama sang ayah, anaknya yang berjalan, saat melewati penduduk, mereka berkata, sungguh tega seorang ayah membiarkan anaknya berjalan kaki sementara ia duduk di atas keledainya. karna dibilang spt itu, gantian anaknya yang menunggangi keledai, ayahnya yang mengiringi. namun saat ketemu penduduk lain, org2 itu bilang, sungguh durhaka seorang anak duduk santai di atas keledai sementara ayahnya dibiarkan berjalan kaki, karena gak mau dibicarain lg, keduanya sama2 tidak menunggangi keledai, tapi pas sampai di tempat lain, org2 bilang, sungguh bodoh mereka ini, keledai ada tapi tak dimanfaatkan. akhirnya mereka serba salah… itu smua karna menuruti pendapat org lain..padahal…cckkck

      its okay mi… stiap org punya cara pandang sndiri, yg penting kita enjoy aja kali ya, hhe

      Like

Give a comment