Cerita dan Harapan

Ia tak pernah mengira tanggal itu kan ia tulis di sebuah buku permohonan seminar skripsi. Padahal, jadwal yang telah ia rencanakan dengan semantang-matangnya ketika itu menjadi sesuatu hal yang justru nyaris tak mungkin ia dapatkan. Penguji dan pembimbingnya tak bersepakat. Yang satu bisa hadir yang lain berhalangan. Nyaris saja ia buntu di keputus asaan. Lebih parahnya lagi, tanggal permohonan skripsi akan ditutup kurang dari 1 minggu lagi. Ia nyaris di pintu yang ia selalu berusaha meraihnya dengan baik. Sampai ia percaya akan sebuah harapan yang selama ini selalu ia dapatkan ketika saat-saat tersulit dalam hidupnya.

Ketika ia masih muda, ia pernah bersimbah darah menahan pecahan kaca bis yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Sang ibu yang begitu kuat dan sampai saat ini tak bisa ia tiru kesabarannya, dengan tenang menyapihnya meskipun lengannya sudah robek dari ujung ke ujung akibat terseret kaca yang tajam itu. Sang ibu masih menyisakan kaca itu di dalam kulitnya hingga kini. Namun ia menurut, tak menangis dan tetap dalam ketenangan dekapan sang ibu.

Ketika ia beranjak ke usia kanak-kanak, saat umur 3 tahun, ia pernah dilempar oleh ayahnya ke arah langit hingga tersungkur berulang kali di atas aspal panas di tengah keramaian. Ayahnya gila. Semua orang takut pada ayahnya. Namun ia melihat sosok malaikat berjubah hitam menyambutnya dengan senyum. Sampai saat ini ia masih ingat sosoknya.

Ketika ia masuk SD, ia harus kehilangan neneknya, seseorang yang selalu ada untuknya sejak ia tak pandai berjalan. Seseorang yang mengajarnya tulis baca hingga ia bisa membaca koran saat berusia 3 tahun, berbahasa inggris umur 5 tahun, membaca Quran pada usia kurang dari 7 tahun. Neneknya meninggal, karena diabetes. Ia hanya bisa duduk di samping kepala sang nenek sambil menangis dan tak tahu akan mencari pengganti nenek yang lain. Ia begitu lugu dan polos.

Ketika ia SMA, ia harus berjuang ke luar kota berdua dengan temannya. Sampai ketika ia tersesat dan tak tahu pulang ke mana. Bis yang mengantarnya ke kampung halamannya sudah lebih dari 3 jam di petang hari ia tunggu tak kunjung tiba. Malam hampir larut namun ia tak tahu harus berbuat apa. Tidur di mana. Perut lapar tak bisa ia tahankan. Padahal besok ia harus berjuang untuk kegiatan MOS Rohisnya di sekolah. Namun saat baksonya telah tertuang di atas pinggan, bisnya datang, ia berteriak sekencang-kencangnya hingga ia bisa pulang dengan selamat saat sang stokar bis mendengar suaranya.

Ketika ia masuk FK, ia harus bersahabat dengan infus dan tabung oksigen karena kritis saat diserang demam berdarah. Trombositnya 80 ribu, tekanan darahnya hampir 70. Ia menahan kejangnya dengan sekuat tenaga, ia membuat ayahnya menangis untuk pertama kalinya di depannya. Semua orang disana berkerumun melihatnya, melihat bahwa usianya mungkin tak akan lama lagi. Namun ia sembuh dengan seketika, dan boleh pulang dua hari kemudian.

Ketika ia di tahun-tahun sulit saat kuliah, ia harus berjuang dengan sinus preaurikular yang ia alami. Berobat berpuluh-puluh kali tak pernah sembuh. Hingga akhirnya di tahun 3 ia menjalani operasi, ia pun dipertemukan oleh Allah dengan seorang ibu yang begitu baik, membantunya berobat hingga sembuh, dan ia bisa belajar dengan lebih tenang dan tak seminder dulu lagi.

Ketika ia kuliah jua, ia kehilangan kakeknya. Seorang kakek yang sangat ia cintai. Kakek yang menjadi idolanya. Kakek yang pemberani. Kakek yang cerdas. Kakek yang luar biasa. Meskipun hanya tukang bangunan, ratusan masjid sudah ia dirikan. Ratusan rumah tempat bernaung telah ia bangun. Termasuk membangun naungan di hatinya. Hingga satu wasiat sang kakek padanya sebelum ia pergi, “belajar lah dengan rajin”, karena saat ibunya masih kecil, ia tak sanggup menyekolahkan ibu di fakultas kedokteran, karena ia hanya tukang bangunan yang miskin. Kakek, yang rela pergi pagi pulang malam mengurus jawi (sapi) nya untuk penambah uang kuliah cucunya itu, kakek yang memimpikannya menjadi dokter. Kakek yang selalu memotivasnya. Sungguh ia tak kan mau melupakan, wasiat kakeknya yang ketika itu juga berkata, “bacalah surat yasin”.

Allah begitu baik padanya. Sungguh baik. Ia yang banyak dosa itulah, yang hina itulah. Ia yang selalu lupa dengan segala kemudahan yang Allah berikan untuknya tanpa mengenal lelah.

Andai saja ia bisa istiqamah ya Allah. Melihat tingkahnya, apakah Engkau akan dapat mencintainya?

2 thoughts on “Cerita dan Harapan

Give a comment