Berguru ke Eropa #Italychronicles – Part 3

Ingin kembali sedikit bercerita tentang perjalanan saya ke Eropa. Alhamdulillah, sebuah kesempatan untuk mengikuti kegiatan pertukaran mahasiswa ke Italia akhirnya terlaksana. Lebih tepatnya saya mendapatkan tempat di sebuah kota bernama Genova. Kota ini terletak di sebelah barat laut Italia, sebuah kota pelabuhan yang penting di Italia. Kota ini dikelilingi oleh pegunungan Alpen, dan menghadap lepas ke Laut Mediterania dengan ombaknya yang mungil. Sebuah kota dengan keindahan yang menawan, dengan jejeran ratusan rumah bertingkat yang berdiri tegak di sepanjang perbukitan, pantai yang amat bersih dan suasana kota yang romantis. Masya Allah.

Saat ini suhu di kota ini sekitar 12 derajat celcius, sebuah suhu peralihan antara musim dingin dengan musim semi. Dengan suhu seperti itu, kita tak merasa penat meski berjalan jauh sekian kilometer, tidak seperti di Indonesia dengan suhu diatas 30 derajat Celsius dimana berjalan sekian meter saja sudah basah dengan keringat, apalagi di kota Padang. Namun, bagi orang-orang tertentu seperti saya, suhu seperti ini ternyata tidaklah selamanya menyenangkan, pasalnya suhu seperti itu membuat alergi saya kumat, no offense. Harus berjuang menahan urtikaria dan sariawan yang parah. Ckck. Walhasil saya harus membeli obat oles sariawan, obat anti histamin, multivitamin dan buah-buahan kaya vitamin C. Jika tidak, hah, entah apa yang akan terjadi. Ckck

Kembali ke topik. Kegiatan pertukaran mahasiswa yang saya tempuh adalah melalui organisasi mahasiswa kedokteran se-dunia yang dikenal dengan nama IFMSA, singkatan dari International Federation of Medical Student Association. Masing-masing Negara anggota memiliki organisasi yang bermuara ke IFMSA ini, di Indonesia kita mengenalnya dengan nama CIMSA, yakni singkatan dari Center for Indonesian Medical Student Association. CIMSA berafiliasi dengan IFMSA, dan memiliki banyak cabang di berbagai universitas di Indonesia. Di kampus saya, dikenal dengan nama CIMSA KM FK Unand. Yap. Selain itu, CIMSA memiliki berbagai macam sub-bagian, if I said, dan salah satu bagian yang mengurus kegiatan student exchange saya ini dikenal dengan nama SCOPE. Melalui SCOPE inilah saya ikut dalam kegiatan pertukaran mahasiswa internasional ini. Meskipun bukan anggota CIMSA, Alhamdulillah saya sangat bersyukur bisa mengikuti program ini setelah mendapat rekomendasi dari mantan presiden CIMSA yang seangkatan dengan saya. Hehe. Dan saat ini kami ikut dalam pertukaran mahasiswa di Negara yang sama namun berbeda kota.

Pendidikan kedokteran yang saya dapatkan di Genova terpusat di satu tempat, yaitu di Instituto Giannina Gaslini, atau yang lebih simple disebut dengan Ospedale Gaslini, yaitu sebuah rumah sakit khusus anak-anak. Yap, saya mendapatkan jatah untuk mengikuti program exchange di departemen pediatric surgery. Alhamduilillah. Suaut bidang yang amat saya sukai ketika koass, setidaknya gabungan dua stase favorit, yakni bedah dan anak. So, its just talking about pediatric and surgery. 😀 Selama sebulan kedepan saya akan menempuh pendidikan baru di sini, sebagai medical student from Indonesia.

Selama seminggu program pertukaran mahasiwa di Ospedale Gaslini, saya dibimbing oleh seorang professor bedah anak, Proff. Gliusseppe Martuciello. They usually called him Prof.Martuciello. Cukup susah memang mengeja nama orang Italia, hehe, kadang-kadang mereka bingung sendiri ketika saya mencoba mencari professor di kantornya dan menyebut nama beliau, sehingga saya harus memperlihatkan buku catatan saya yang berisi nama beliau. Hehe. Selain beliau, saya juga dibimbing oleh beberapa orang dokter spesialis bedah dan juga residen, sebut saja dott.Avanzini dan dott.Lorento. Aku tak begitu paham apakah mereka resident atau bukan, namun dott.Avanzini said that he has taken the pediatric surgery specialist before, sedangkan dott.Lorento is a resident I think, since dia selalu mengikuti operasi dengan para professor dan selalu mendapat semacam bimbingan ketika melakukan operasi. I think so. Maybe I’ll ask them later. 😀

Sejauh ini, saya sudah melalui berbagai macam stase di bidang bedah anak ini, hari pertama saya mengikuti kegiatan poliklinik di bagian bedah anak dengan beberapa kasus yang saya temui, seperti lipoma, hernia inguinalis, pectus excavatus, granuloma, dan patent ductus urachus. Sebagian besar kasus bedah anak di sini memang adalah kasus kongenital, artinya didapat sejak lahir. It’s very rare to find some infective disease, it’s almost about neoplasm or congenital failure. Hari-hari berikutnya saya mengikuti kegiatan di ruangan berbeda. Misalnya saja mengikuti dinas jaga di IGD dua kali, pertama saat siang hari bersama dott.Avanzini, dan keesokan malamnya bersama Prof.Martuciello. Selama dinas jaga di IGD, saya tak menemukan kasus yang bisa dibilang“benar-benar gawat”, sebagian besar kasus di sini adalah kasus trauma minor, seperti kemasukan benda asing di hidung, cidera otot hingga keseleo, ckck. Kalau orang Indonesia mungkin tak kan dibawa ke rumah sakit, paling dibawa ke tukang urut dan selesai. Ckck. Kasus yang cukup menarik perhatian mungkin adalah kasus seorang anak laki-laki umur 9 tahun dengan keluhan sakit perut dan tidak bisa BAB sejak lima hari yang lalu. Pertama kali datang saya ikut memeriksa kondisinya sambil belajar sedikit bahasa Italia yang sampai saat ini tak saya pahami, wkwk. Pemeriksaan berlanjut hingga pemeriksaan USG abdomen, BNO, hingga Barium Enema just in time. Yap. Yang saya salutkan disini adalah, prosedurnya yang sangat simple dan cepat, as quick as right as possible. Pasien benar-benar dilayani dengan baik dan sangat professional, mulai saat datang hingga pulang. Tak ada yang namanya mengantri jadwal berhari-hari seperti di Indonesia, misalnya saja prosedur Barium Enema yang ternyata juga standby 24 jam. Dokter benar-benar mengantar pasien ke meja pemeriksaan, ikut menenangkan sang anak yang terlihat cemas saat diperiksa, dan wah..It’s very amazing.

Selain di UGD, saya pun sempat mengikuti visite pasien di ruang rawat inap post operasi. Pasien disini tak sebanyak pasien di Indonesia, actually. Kasus yang saya temui seperti pectus excavatus (I dont know why does this disease is pretty common here, I’ve asked the proffesor too, but maybe in Indonesia there are a lot of too but they don’t bring to the doctor, I thought), post repair hernia inguinal, post appendictomy, batu saluran kemih, dan lain-lain. Disini system follow up-nya separoh manual dan separoh lagi written to the computer. Jadi ada semacam alat tempat membawa laptop kemana-mana dan disana tercatat segala macam data tentang pasien, mulai dari identitas, anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang, diagnosis hingga terapi yang diberikan. Perawat dan dokter masing-masing punya laptop follow upnya. And it’s very neat and ordered, very great. Maybe we have to use this too in Indonesia. Tak ada yang namanya status bertumpuk-tumpuk hingga robek-robek seperti di Indonesia dengan lembaran hasil lab-nya yang hilang entah kemana. Ckck

Selain di ruang rawat inap saya pun mengikuti kegiatan operasi di ruangan OK. Semuanya persis sama dengan di Indonesia, ruang OK, ruang sterilisasi, ruang alat, dan lain-lain sebagainya. Ada perawat OK, perawat anestesi, dan dokter operator. It reminded me to Indonesian operation room a lot. Tapi saya pikir, dokter-dokter bedah di Indonesia are quietly more talented, because we have so many emergency cases and the elective cases than in this hospital actually, I really think so after I saw them! 😀

Satu hal yang mungkin menjadi catatan penting dalam catatan saya adalah, tentang sistem administrasi dan pelayanan yang diberikan pada pasien. Di sini, semuanya harus didokumentasikan secara online, tidak seperti di Indonesia, yang masih menggunakan sistem manual setiap menulis data pasien dan data anamnesis hingga hasil pemeriksaan fisik, diagnosis hingga terapi. Di Italia, setiap catatan pasien dicatat di computer dan resume-nya di print out serta diberikan pada pasien dengan ditandatangani serta distempel oleh dokter. Setiap hasil pemeriksaan terlihat di dalam data rekam medic pasien di dalam computer dengan sangat rapi dan mendetail. Selain itu dokter disini, as I can say, will do everything to treat the patient very well, artinya mereka benar-benar melayani pasien hingga pasien itu merasa puas dan mengerti dengan apa dan bagaimana pengobatan mereka. It’s very nice.

Satu lagi yang saya salutkan adalah, seperti tidak ada semacam “gap” antara sang guru dengan sang murid, ataupun senior dengan junior. Guru dan senior menghargai murid dan juniornya sebagai pelajar dan sebagai “manusia”, tak pernah saya menemukan yang tinggi menghardik yang rendah, atau yang rendah takut dengan yang tinggi seperti kebanyakan terjadi di sistem pendidikan di Indonesia, so sorry, to be honest. Di sini, semua orang dengan profesi apapun amat dihargai, suasana yang amat sangat nyaman untuk belajar, jika kita tak paham entah kenapa tak ada rasa segan untuk bertanya, semua pertanyaan dihargai, semua pendapat didengar, tak ada pemaksaan melainkan kesadaran muncul dengan sendirinya, saling menghormati dan menghargai, dan it’s going very great.

Alhamdulillah. Beberapa hari di sini semacam membuka mata saya bahwa dokter itu adalah tugas yang sangat menyenangkan plus mulia. Ada banyak hal yang bisa kita ubah agar pelayanan kedokteran Indonesia bisa jauh lebih baik. As I can say, I think we’re only one half behind in about the administration and technology, but not in the skills. Semoga suatu saat semangat itu bisa saya terapkan jika Allah berkenan. We’ll do professional and actually we can compete with the other doctors in the world, insya Allah.

4 thoughts on “Berguru ke Eropa #Italychronicles – Part 3

  1. dreamer

    sedang cari2 soal sekolah kedokteran, eh ketemu blog dokter, seru juga ya menjadi dokter… tapi guess what, saya bukan dokter bahkan pekerjaan saya jauh dari dunia kesehatan, tapi saya sangat berminat mendalami bidang kedokteran, seperti ada panggilan dari hati kecil saya untuk menjadi seorang dokter, padahal usia saya sudah 28 tahun, hahaha….

    sepertinya gak mungkin lagi ya kalau di Indonesia untuk daftar med school di usia seperti saya, namun saya akan tetap coba untuk ikut ujian kedokteran (yang kebetulan ada universitas swasta di Indonesia yang tidak mensyaratkan batasa umur untuk masuk kuliah di FK)

    …setelah nulis panjang lebar baru sadar ini blog yg saya baca ternyata di tulis tahun 2015, oke semoga dibaca sama penulis deh…

    salam sukses dok

    Like

  2. Ami

    Sepertinya memang demikian. Kita mungkin tertinggal dari segi fasilitas, tetapi dari segi keahlian mungkin tidak (karena semuanya dikerjakan sendiri, dengan derajat kesulitan yang bervariasi). Tapi yang terpenting untuk diadaptasi itu adalah mentalitasnya. Di sini, kadang ada gap yang besar antara senior-junior, profesor-mahasiswa, jadinya rasa takut dan segan itu lebih mendominasi daripada keinginan untuk berinteraksi lebih sering dan belajar langsung dari para guru. Di sana sepertinya jauh lebih egaliter. Dan kayaknya orang-orang Italia itu hangat, ya?

    Your English is pretty good, in my opinion. It seems that you have already known some common expressions in Italian, also :).

    Like

    • Sandurezu サンデゥレズ

      Thanks a lot ami! But you dont have to say, my English is not pretty good enough, really. I just write anything which comes in my mind without correcting the grammar, wkwk.. sorry for a lot of mistakes in the grammar. Just learning. I’m trying to correct my english with a lot of practicing here.. I know for sure your english must be better than mine! Thanks anyway for the compliment, hha 🙂

      Betul mi, dari segi fasilitas kita memang jauh tertinggal, tapi dari segi keahlian an yakin kita tak kalah dengan orang-orang disini. Setelah mempelajarinya, an pikir yang mesti diperbaiki adalah interaksi kita dengan pasien, bagaimana melayani pasien dengan profesional meski dengan keterbatasan sarana. Benar-benar pencerahan di sini mi, alhamdulillah. 🙂

      Like

Give a comment