Bermanfaat Bagi Sesama

Sore itu seorang ibu datang ke rumahku. Dari suaranya saja aku bisa mengenali bahwa itu adalah beliau. Seorang ibu yang biasa mengunjungiku jika badannya mulai terasa tidak sehat. Setiap bertemu denganku beliau selalu bercerita panjang lebar, mengutarakan setiap keluh kesahnya. Meskipun terkadang keluh kesahnya seolah-olah terlalu berlebihan. Tapi setiap beliau mulai bercerita, akan sangat sulit untuk berhenti. Beliau bilang, “Anak ambo lah pulang!” jika beliau tahu aku ada di rumah. Ya meski aku tak begitu yakin apa yang sebenarnya membuatnya senang bertemu denganku. Konsultasi hingga berjam-jam, melampiaskan keluh kesah kesakitannya, sampai ku resepkan beberapa obat untuk penyakitnya.

Di hari lain ibu-ibu komplek yang sering nongkrong di teras rumah bareng mama pun gak kalah heboh. Jika tahu aku di rumah, mereka dengan senang “mengeroyokku”, berkata “Pak dokter lah pulang.” Membuatku merasa tersanjung saja, wkwk. Kalau sudah kaya gitu, alat pengukur tekanan darah dan sebuah stetoskop litman kesayanganku jadi bulan-bulanan. Masing-masing dari mereka minta diukurkan tekanan darahnya. Konsultasi berjam-jam, udah kaya ngasih penyuluhan mendadak aja kalau udah rame. Tapi ya.. senang saja alhamdulillah.

Nggak siang gak sore, pagi pun pas masih enak-enak duduk menyandar di kasur sedang membaca buku, mana selimut pun belum ku lipat, pintu rumahku sudah diketok oleh tetangga. “Lai ado anak bujang di rumah?” Seorang ibu kembali menanyakan keberadaan anak bujang mamaku itu. Ya tentu saja aku akan men-service beliau.

Malam pun demikian, tiba-tiba seorang ibu mengetok pintu rumahku meminta tolong. Dunsanak laki-laki beliau dari tadi muntah-muntah dan pusing setelah jauh mengendara mobil. Sumpah dokter yang telah ku ucapkan tentu saja bukanlah sesuatu yang tak dapat ku lepaskan. Apalagi yang berbunyi, “saya bersumpah akan membaktikan hidup saya untuk kepentingan kemanusiaan”. Akhirnya stetoskop dan alat tensi sederhanaku ibarat kawan mendadak kemana pun ku pergi. Malam itupun aku langsung melihat dunsanak beliau dan memeriksa keadaannya, hingga ku resepkan beberapa obat. Keesokan harinya alhamdulillah kondisi beliau sudah membaik.

Cerita yang mirip juga terjadi pada bapak yang tinggal di depan rumah. Mual, muntah dan pusing hingga tak bisa kemana-mana. Berbaring saja di atas kursi goyang kesayangannya. Sudah berobat ke dokter tapi tak ada ansurannya. Maka ku lihatlah kondisinya lalu bercerita panjang lebar dengannya. Setelah diperiksa dan ngasih beberapa konsultasi, akhirnya tertulislah resep sederhana di sebuah kertas biasa. Ya mana mungkin aku ngasih resep dengan kertas resep kaya di klinik-klinik atau di Puskesmas yang ada Kop-nya, karena ini dokter masih belum bisa praktek secara resmi. Selang dua malam meminum obat yang ku resepkan dan ku minta beli di apotik, bapaknya tampak sedang bermain di halaman rumahnya bersama sang cucu. Beliau bilang, “Mantap ubeknyo pak dokter! Alhamdulillah sahari se minum lah baransua rasonyo.” Tentu saja aku senang. 🙂

Ya itulah. Nasib dokter yang baru tamat. Mau buka praktek tapi, maaf, masih terganjal dengan masalah izin dan birokrasi negara yang berlarut-larut. Dinyatakan alhamdulillah lulus ujian kompetensi Maret 2015, diyudisium dan disumpah pada April 2015, dan diwisuda Mei 2015. Sekarang harus sabar menunggu internship yang dijadwalkan bulan Agustus mendatang. Itupun jika tidak ada kendala insya Allah.

Di saat seperti ini, memang banyak kegalauan. Memaksakan diri menjadi pengangguran atau justru bekerja di luar jalur. Aku takut hal itu termasuk syubhat. Tapi mungkin Allah ngasih momen seperti ini untuk hal yang lain. Aku terus mencoba berpikir secara positif.

Saat-saat seperti ini nasihat ibu memang adalah obatnya. Ibu bilang, tak usah buru-buru. Enam tahun kamu pontang-panting di kampus dan rumah sakit, belajar siang malam sampai kurus kaya gini, ini pulalah saatnya kamu untuk istirahat nak. Toh nanti kalau sudah praktek, sampai seumur hidup pun mungkin kamu masih akan praktik. Apalah dunia yang kan kau kejar, cari duit sana sini namun tak jelas hukum asal-usulnya. Mending kamu kaya gini saja, jadi dokter gratis di komplek sini ngobatin ibu-ibu dan bapak-bapak yang sakit, kan bermanfaat juga.

Ya, mungkin nasihat ibu ada benarnya. Gak ada salahnya menikmati sedikit liburan yang tersedia untuk melakukan hal-hal yang belum sempat ku lakukan. Sempat belajar ke Italia, lalu menamatkan buku-buku bacaan yang gak sempat tersentuh, menulis di koran, hingga nulis novel. Hehe. Mungkin saja aku bisa menyelesaikan sebuah novel jika libur selama ini. Siapa tahu. Hehe

Aku hanya ingin bermanfaat bagi orang lain, dengan cara yang Allah ridhoi. Itu saja.

6 thoughts on “Bermanfaat Bagi Sesama

Give a comment